NUSANTARA MEMANG KAYA

Nusantara
Renungan Gobal Gabul Kala Pandemi

Coretan Opini Intermeso

*) Yuri Muryanto Soedarno

Ransel yang saya gendong di punggung seakan melekat, saat berjalan menuruni jalan aspal di suatu lembah.

Ransel itu, adalah cenderamata seorang sobat yang pernah tinggal di Inggris, Skotlandia, dan Belanda. Cenderamata itu bukan brand import luar negeri, tapi produk anak bangsa dengan merk dalam negeri.

Kebetulan. Kami punya hobi sama. Camping dan naik gunung.

Yuri Muryanto Soedarno
Setelah beberapa waktu berjalan, capek juga rasanya. Saya taruh ransel warna merah di rumput pinggir jalan aspal, yang lebarnya seakan hanya untuk pengojek dan pejalan kaki

Sambil mengaso dan mengenang sejarah berpuluh tahun silam di tempat ini. Saya memandang ke bawah pada  panorama gunung gemunung ke arah tiga mata angin.

Bersyukur. Diberikan kesempatan untuk melihat keindahan ciptaan milik-Nya.

Ingatan saya menerawang.

Dulu jalan aspal di bibir jurang ini adalah jalan setapak. Yang sering saya jalani bersama Pak Lik bila ke kebun kopi, atau saya ingin mandi di sungai berbatu yang ada air terjunnya.

Saya jadi teringat lembah dan gunung Muria ini. Waktu hutan, gemunung serta sungai yang ada air terjunnya masih jernih nan asri. Bangunan mesjid di gunung juga masih sederhana.

Di sekitar pertigaan jalan yang menghubungkan jalan yang agak lebar dan jalan setapak serta jalan yang menuju pematang sawah. 
Ada sebuah belik yang besar jernih. 
Belik itu juga mengairi persawahan di lembah, yang berteras (sengkedan) sebagai salah satu warisan peradaban dunia. 

Saya juga sering menemani dan sesekali membantu Pak Lik bekerja, walaupun lebih sering beristirahat di gubuk sawah dan bermain main.

Masih segar dalam kenangan. Saat  kiriman makan siang yang di bawa Bu Lik tiba. Menu ala ndeso. Nasi jagung,  gereh, sayur bening daun kelor, tempe, tahu dan sambel mentah.

Pak Lik makan begitu lahapnya. Sementara saya, enggan makan. 
Ketidakseleraan saya seakan dibaca, "Kenapa nggak mau makan, Le?".
Saya hanya tersenyum.

Sebenarnya, saya agak enggan makan nasi jagung, karena lebih senang dengan  nasi beras (sering disebut 'sego putih'). Ditambah lagi, sayur bening kelor dan sambel mentah. 
Seakan lengkaplah sebagai penurun  selera makan.

Saya masih ingat  waktu itu, beberapa Pini Sepuh di keluarga. Bila mengimbau untuk makan sayur daun kelor, atau sayur mayur lainnya. 
Ada kalimat yang seolah bisa jadi suatu tahayul: "Ayo dimakan sayur kelornya Le, biar nggak di ganggu Lelembut".

Rangkaian komunikasi itu saya anggap hanya menakut-nakuti saja, supaya mau makan sayur.

Belum lagi apabila suatu ketika, saya disuruh minum jamu kunyit, kencur, temulawak atau brotowali yang dibuat oleh nenek, atau juga minum  kopi pahit pada hari tertentu. Juga ada kalanya satu hari hanya dianjurkan makan umbi-umbian dan makan bawang putih mentah serta minum air putih. Lagi-lagi supaya saya mau melakukannya, kalimat pemungkasnya adalah supaya jangan diganggu Lelembut.

Itu semua termasuk bagian yang tidak saya sukai tentang perkulineran saat tinggal bersama Nenek.

Tapi ada bagian dimana saya suka dengan kuliner ala n'deso. Misalnya, makan enthik (kimpul) bakar sambil minum kopi di pagi hari usai salat Subuh. Saat hawa dingin dan udara segar  serta suasana alam masih berkabut.

Atau makan kelapa muda, sambil membakar kacang tanah. Atau jagung yang baru di panen. 

Yang tak kalah menarik nya adalah makan bersama, tumpengan dengan ayam ingkung dan ayam panggang. Tak ketinggalan tempe tahu juga ikan asin, sayuran/urap, buah-buahan, serta penganan jajanan tradisional, saat suasana panen kopi. 

Bila dikebun kopi atau di hutan itu kebelet buang air kecil. Pini Sepuh menyarankan untuk berjongkok saat  buang air kecil, dan permisi dengan dengan mahluk tak kasat mata, pada dimensi lain. Lalu membersihkannya dengan daun, bila tidak ada air.

Pengertian saya tidak sampai kala itu,  mengapa hal begitu dilakukan?
Selain ikuti saja.

Barangkali, apakah ini juga bagian dari perspektif  'enviromental permit' dalam konteks etika dan saling menghormati pada lingkungan serta mahluk lain dalam kekuasaanNya?

Lagi lagi pemikiran saya belum sampai ke arah itu.

Waktu itu saya masih anak anak. 
Hingga kini, siapa sangka. 

Kini, lokasi itu berubah jauh. Persawahan di lembah itu, telah didatarkan, dan menjadi terminal bus. 
Demikian juga areal kebun kopi yang semarak dengan konstruksi permanen bangunan vila untuk bervakansi.

Di area vila-vila itu dan sekitarnya.
Masih segar dalam kenangan, kala itu sambil membawa bodak kecil, memunguti kopi luwak (biji kopi yang dikeluarkan bersama kotoran luwak). Kadang juga mendapat jamur barat dan jamur kuping, untuk di buat sayur oseng jamur atau pepes jamur.

Setelah lebih dari empat puluh tahun berlalu. Saya diajak makan oleh seorang pengusaha di sebuah restoran dengan brand yang cukup terkenal.
Tapi alamak. Ternyata  dari banyaknya hidangan di meja, ternyata di daftar menu nya ada juga: nasi jagung dan sayur bening daun kelor serta gereh juga sambel sebagai salah satu menu hidangan. Tentunya dengan style yang agak berbeda sentuhannya.

Sebagai menu penutupnya dihidangkan pula buah-buahan serta air putih juga segelas kecil kopi pahit bila mau.

Sekarang, di zaman pandemi Covid-19, rempah rempah, jamu tradisional, tanaman tanaman trend jadul (jaman dulu). Seperti jahe, kunyit dan lainnya, dengan segala argumentasinya menjadi salah satu primadona untuk menambah imun tubuh dalam menangkal virus dengan ukuran mikro nano.

Apakah mahluk mikro nano ini juga termasuk katagori Lelembut??
Aah entahlah.

Dari keaneka ragaman rempah-rempah dan berbagai makanan, nusantara memang kuaayaa dari dulu. Belum lagi dari budaya dan seni.

Saya sempat termenung, teringat Nenek yang telah tiada, dengan usia di atas satu abad. Yang pernah memberikan jamu serta sayur dan makanan penambah imun tubuh di masa kecil. Nenek juga membuatkan jamu rempah temulawak yang di campur madu klanceng agar terasa manis. 

Rumah lebah klanceng untuk rumah tangga ini, biasanya dibuat dari pohon kering yang dibelah dengan lubang lubang tertentu, yang ditempatkan tidak jauh dari rumah oleh Pak Lik.

Dulu.
Kini.
Nanti.
Masing masing punya waktu dengan pola dan caranya.


in memory;

- Semua Pini Sepuh, Sanak Saudara dan Handai Taulan, di Muria, Jawa Tengah di manapun berada.

- Sobat Tommy Ardiansyah, Jurnalis / Cameraman Reuters Inggris.

- Kembalikan kejayaan rempah dan  pangan nusantara di mata dunia - Saat Diskusi Pada Suatu Siang - di Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta, Maret 2020 ;


*). Yuri akrab di sapa Ceppe / Utuh Iyur ; alumni FISIP ULM, salah satu Pelopor MPA Fisipioner, pernah mengajar di beberapa Perguruan Tinggi / SLTA, kadang menulis tentang lingkungan, traveling (petualangan), bisnis, puisi, cerpen, serta menyikapi fenomena sekitar.

Catatan : 
*) Kuuayaa : Sangat kaya sekal (bahasa gaul anak anak jaman dulu)
*) Belik : Sumber air
*) Sengkedan / Terasiring : Persawahan yang  berundak undak
*) Pak Lik : Paman
*) Bu Lik : Bibi / Tante
*) Gereh : Ikan asin
*) Le : Panggilan untuk anak laki laki
*) Pini Sepuh : Orang Tua yang dihormati
*) Lelembut : Mahluk halus
*) Tumpengan : Hidangan nasi berbentuk kerucut / gunungan dengan sayur mayur dan lauk pauk.
*) Bodak : Keranjang.
*) Klanceng / Kelulut : Sejenis lebah kecil ; (Klanceng : Jawa, Kelulut : Kalimantan).


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar