Pertempuran Jumat 9 Jam di Pagatan: Kotanya Darah Para Pejuang - 7 Februari 1946

Kami seluruh rakyat Pagatan, Pulau Laut dan Tanah Bumbu Selatan menyatakan berdiri tegak di belakang Republik Indonesia. Jika NICA berani menginjakkan kakinya, kami akan mempertahankannya. Merdeka..!
Ilustrasi pertempuran rakyat melawan penjajah | Foto: Kemdikbud
Kami seluruh rakyat Pagatan, Pulau Laut dan Tanah Bumbu Selatan menyatakan berdiri tegak di belakang Republik Indonesia. Jika NICA berani menginjakkan kakinya, kami akan mempertahankannya. Merdeka..!

JURNALBANUA.COM, PAGATAN - Mosi heroik itu ditulis dan diikrarkan tanggal 6 Desember 1945. Diteken Pemimpin Badan Pembantu Republik Indonesia (BPRI) Pagatan.

Sebelumnya, tepatnya 1 September 1945, BPRI Pagatan dibentuk untuk memperkuat sistem pemerintahan RI.

Pengurus BPRI Pagatan terdiri dari: Penasehat Umum Andi Atjong. Wakil Rakyat Andi Djufri, Wedana Gusti Ibrahim, Pertahanan Rakyat Mohammad Badri dan Wakil Kepolisian Andi Abdurrahman.

Para pengurus melapor ke Jawa. Bahwa situasi Banjarmasin tidak kondusif. Sudah diduduki Sekutu - Nica.

Setelah Banjarmasin jatuh, mudah membaca serangan Sekutu berikutnya: Pagatan. Baru kemudian masuk ke Pulau Laut, Kotabaru.

Pulau Laut Strategis untuk sandar kapal-kapal besar bagi Sekutu menguasai Kalimantan bagian tenggara. Tapi mereka harus lebih dulu melumpuhkan pesisir Pagatan, karena pusat perlawanan ada di sini.

Pesisir Pagatan, pintu masuk NICA ke Pulau Laut | Foto: Jurnal Banua
Namun Indonesia sudah merdeka. Pagatan bertekad akan mempertahankannya: hidup atau mati.

Membentengi pesisir, Pagatan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 25 September 1945.

Pesisir yang tenang itu pun berubah gelisah. Rapat-rapat digelar. Pemuda sibuk berlatih bela diri.

Rakyat mempersenjatai diri seadanya. Mulai dari senapan rampasan perang, sampai senjata tajam khas suku Bugis.

Merah putih berkibar gagah di pusat kota. Angin laut mengibarkannnya tanpa henti. Wajah-wajah keras dan penuh semangat.

Tepat tanggal 1 Desember, para pemimpin pejuang dari Kotabaru dan Tanah Bumbu bergabung. Mereka rembuk di Pagatan.

Tugu 7 Februari Pagatan
Pertemuan yang dicatat dengan baik dalam sejarah itu melahirkan mosi perlawanan. Tanggal 6 Desember semua berikrar: jika Sekutu - NICA datang menyerang, mereka akan mempertahankan daerah hingga titik darah penghabisan...!

Mosi rakyat Pagatan, Pulau Laut dan Tanah Bumbu

“Dengan ini, kami seluruh rakyat Pagatan, Pulau Laut dan Tanah Bumbu Selatan menyatakan berdiri tegak di belakang Republik Indonesia, hasrat seluruh rakyat di sini, jika pihak NICA berani menginjakkan kakinya ke daerah ini, kami penduduk akan bersiap mempertahankannya, untuk membasminya dengan segala kekuatan yang ada pada kami.

Pagatan, 6 Desember 1945
“MERDEKA”
Pemimpin BPRI Pagatan

Ikrar sudah diumumkan. Para pejuang sudah mempersiapkan. Sebagian bahkan sudah berwasiat kepada keluarga, jika mereka nanti gugur di medan pertempuran.

Begitulah. Jiwa-jiwa pejuang mengalir deras dalam darah warga Pagatan. Sejak zaman kerajaan.

Pertempuran 9 Jam di Hari Jumat

Kamis 6 Februari. Malam hari, warga melihat lima buah kapal besar di horizon laut. Persis depan Desa Kampung Baru, kawasan pesisir yang berdekatan dengan Selat Pulau Laut.

Tidak salah lagi. Kapal mentereng itu pasti mengangkut pasukan penjajah. Warga mempersiapkan diri. Malam Jumat itu benar-benar mencekam. Di beberapa rumah tangisan anak-anak terdengar.

Ilustrasi kapal penjajah
Ayam jantan berkokok, malam berganti subuh. Tokoh agama yang disegani di Pagatan HM Nurung menunaikan salat Subuh-nya. Kemudian dia turun membawa senjata. Berpakaian serba putih, dengan surban putih pula.

Di perjalanan bergabung pejuang-pejuang lainnya. Pua Tenga, Ambo Muhayyang, Anang Panangah, Daeng Massiring, La Dandu, La Dalang, Wa Condeng, La Semmang, La Beddu dan lainnya.

Pagi buta sampai mereka ke pesisir Kampung Baru. Pasukan rakyat bersembunyi di balik semak-semak yang tidak terlalu tinggi. Rencananya, menunggu penjajah mendarat, membiarkannya masuk ke jalan sempit, baru dibantai.

Lima kapal besar itu mendekat. Tapi di tiangnya terlihat dinaikkan bendera warna merah putih. Pasukan di pantai mulai bimbang. Yang datang kawan atau lawan.

Kapal makin dekat. Di atas kapal mulai terlihat jelas wajah-wajahnya. Ternyata wajah pribumi. Gembiralah pasukan di Pagatan, mengira yang datang adalah kawan.

Saat kapal tambat, beberapa pejuang menyambut mereka ke bibir pantai. Itulah awal mulanya.

"Ketika pejuang menyambut dengan mesra, tiba-tiba Belanda (ke luar dari dalam kapal) menyerbu. Menawan dan melucuti senjata para pejuang," tutur Andi S Jaya, cicit Raja Pagatan terakhir, dikutip koran harian di Banua, Juni 2016.

Hingga kini warga Pagatan masih mengenang pengkhinatan itu dengan luka. Ternyata ada warga se tanah air yang tega berkhianat demi golden. Para pengkhianat itu merupakan tentara bayaran Belanda asal Jawa dan Ambon

Pejuang yang menyambut itu pun segera dilucuti senjatanya. Rekan-rekannya yang melihat segera balik kanan, memberi kabar, bahwa mereka dijebak.

"Merdeka atau mati..!," pekik para pejuang mendengar kabar itu.

Ilustrasi melawan penjajah dengan bambu runcing | Foto: Kemdikbud
Pertempuran pun tidak dapat dihindarkan. Warga Pagatan melawan sejadi-jadinya. Moncong senapan penjajah menyalak nyaring dari kejauhan. Suaranya menggelegar. Anak-anak di rumah mulai menjerit menangis.

Pasukan rakyat diuntungkan dengan medan yang mereka kuasai dengan baik. Serang, lari sembunyi. Serang lagi. Tapi begitu sulit, rata-rata senjata rakyat hanya bambu runcing, pedang, tombak, badik dan keris.

Satu Persatu Gugur ke Pangkuan Bumi

Konon beberapa warga melihat sendiri. Betapa berani dan heroiknya pejuang-pejuang itu mempertahankan Pagatan. HM Nurung merangsek maju, menyabetkan senjata tajamnya ke arah penjajah. 

Masih dari kisah lidah ke lidah. Berkali-kali peluru tajam mengenai badannya. Tapi dia tidak terluka. Hingga surban di kepalanya terlepas. Baru peluru bisa menembus raganya.

Surutkah nyali pejuang lainnya? Tidak..! Perlawanan terus berlangsung.

Petang hari, baru Sekutu Nica bisa masuk kota Pagatan. Tepatnya 9 jam pertempuran itu berlangsung.

Jarak kapal mereka mendarat ke pusat kota sekitar dua kilometer. Bisa Anda bayangkan sengitnya perlawanan tokoh-tokoh Pagatan saat itu.

Tinta emas kemudian mencatat sedikitnya ada 37 pejuang yang gugur hari itu:

H Muhammad Nurung, Pua Tenga, Ambo Muhayyang, Anang Panangah, Daeng Massiring, La Dandu, La Dalang, Wa Condeng

Pejabat Pemkab Tanah Bumbu berdoa di depan makam para pejuang yang gugur 7 Februari 1946, Minggu (7/2/20) tadi
La Semmang, La Kamile, La Capa, La Benga, Ambo Malukung, Abdurrahim, La Rembang, Daeng Patompo, Haji Muing, La Sennung.

La Gebe, La Beddu, La Ongke, La Patiroi, La Tenggang, La Saleng, Lemmang, Pua Are, La Temmi, Wa Nakka, La Huje, La Mashude, La Muda, La Nateng, Ambo Tero, La Dewa, La Beddong, Abdurrahman, dan seorang pahlawan tak dikenal. (shd/jb)

Sudian Noor: Harus Ingat Sejarah 7 Februari

Minggu (7/2/20) tadi, tepat 75 tahun peristiwa berdarah itu terjadi. Pemerintah Tanah Bumbu, seperti tahun-tahun sebelumnya berziarah menabur bunga, dan berdoa di Taman Makam Pahlawan Pagatan.

Terlihat Plt Sekda Ambo Sakka mendatangi beberapa veteran, keturunan para pejuang. Memberikan santunan dari pemerintah.

Tabur bunga di Taman Makam Pahwalan Pagatan, Minggu (7/2/20)
Terpisah, Bupati Sudian Noor meminta, semua warga Tanah Bumbu, kembali mengingat peristiwa heroik 7 Februari 1946.

"Kita adalah keturunan darah-darah pejuang. Dalam diri kita mengalir sifat keberanian, pantang menyerah dan kejujuran," ujarnya.

Dengan semangat itu ujar Sudian sudah selayaknya semua elemen di Tanah Bumbu berlomba mengisi kemerdekaan.

"Para pendahulu kita sudah mengorbankan jiwa dan raga. Maka kewajiban kita mengisi era kini, untuk kemakmuran rakyat Bumi Bersujud," tekannya.

Plt Sekda Tanah Bumbu Ambo Sakka berkunjung ke rumah salah satu keluarga pejuang, Minggu (7/2/20)
Menurut Sudian, para pejuang dulu kebanyakan adalah para tokoh agama. Artinya, jiwa dan karkter mulia berbanding lurus dengan keimanan seseorang.

"Itu mengapa, penting saat ini kita mendekatkan generasi muda kepada agama. Supaya mereka memiliki karakter yang kuat. Bukankah itu yang dicita-citakan para pendiri Tanah Bumbu," tegasnya.

Dia pun berpesan kepada anak muda, agar tidak menghabiskan waktu di luaran dengan percuma. "Penuhi hari-hari dengan kegiatan positif, sesuai dengan minat kalian," pesannya. (shd/jb)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar