Opini: Politik Itu Transaksi Pemikiran, Bukan Transaksi Kertas Sakti

Ilustrasi politik uang | Foto: internet

* Wahid Hasyim

Berpolitik itu, transaksi pemikiran bukan transaksi kertas sakti. Ini kontestasi narasi bukan kontestasi amplop.

Lalu apa antibiotik penyakit demokrasi saat ini?



Semestinya, pasca gelora reformasi lahir tahun 1998, pemerintah bersama rakyat harus lebih cerdas untuk menemukan solusi di setiap aspek masalah yang muncul.

Tampilnya pemimpin yang dianggap lebih berkompetensi menjadi harapan kita bersama. Harapan dan keyakinan kita amat tinggi bahwa reformasi dapat menyembuhkan degradasi moral bangsa.

Tapi di tengah-tengah kita sekarang.
Defisit pemikiran berpolitik menjadi sumber dari problem bagi daerah itu sendiri.



Kemauan jadi penguasa saja tanpa narasi itu sangat berbahaya. Kemauan itu akan melahirkan laku perbuatan keliru dan merusak apabila tidak berdasarkan pengetahuan yang benar.

Pesta demokrasi bukan hanya semata-mata perebutan kekuasaan untuk duduk dalam singgasana. Melainkan menjunjung tinggi kesadaran hukum dan nilai-nilai moralitas. Bukan mengibarkan identitas tanpa isi.

Dalam setiap kontestasi pemilu, berbagai strategi dan taktik dilakukan calon serta tim-timnya. Dari strategi moral force sampai non moral force.



Di seminar-seminar dan diskusi tentang negeri untuk negeri, kami pemuda tampil bicara bahwa kami anak bangsa berhak menikmati perpolitikan berdasarkan pemikiran. Bukan dengan tebalnya isi rekening.

Melihat, menemukan dan memilih pemimpin yang benar-benar ingin membangun daerah bukanlah suatu hal yang mudah. Perlu analisis yang logis dalam memastikan pilihan.

Sudah banyak pilihan masyarakat yang terjaring OTT. Untuk itulah kesadaran memilih pemimpin harus ada dalam masyarakat kita.



Untuk mengoreksi sikap dulu, kita harus melakukan pendekatan waras dalam menentukan pilihan.

Mendambakan pemimpin baik tidaklah cukup. Harus ada aksi rasional yang aktual yaitu memberikan edukasi tentang memilih pemimpin. Ini tanggung jawab kita semua, utamanya: para akademisi.

Pemimpin yang punya integritas intelektual itu bagaimana? Pemimpin mempunyai integritas moral seperti apa? Maupun figur pemimpin itu sendiri seperti apa?



Saat ini kita dibombardir kurangnya karakter pemimpin dan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai integritas, spiritual yang tegas. Sehingga membuat keadaan masyarakat daerah itu terpuruk. Kecuali umatnya sendiri mau mengubah (Quran Surah Ar-Ra:d : 11).

Apabila persengkongkolan kebodohan, kejahatan dan kekuasaan bersatu maka sempurnalah persembunyian kejahatannya. Karena bisa saja mereka sewa pelacur intelektual sebagai jembatan menuju kepentinganya. Dan itulah yang banyak terjadi saat ini di berbagai daerah.

Masyarakat harus tobat agar lebih cerdas dalam menentukan pilihan.



Kecerdasan itu menolak pemimpin transaksional dalam memenangkan pemilihan secara curang dan tidak halal.

Agama kita menyakini bahwa kecurangan itu akan membawa musibah yang berkelanjutan sehingga masyarakat akan menderita atas prilakunya. Pemimpinnya pun akan di kutuk dalam sejarahnya.

Semoga kecerdasan tetap terpelihara hingga membawah kemanfaatan kebahagian, dan kesejahteraan demi kemakmuran untuk masyarakat tanah air kita.



Kata bijak dari seorang filsuf dan pakar tata negara muslim Taimyah mengatakan ''la maslaha hajihil ummah illa ma shaluha awalaha''. Artinya umat ini tidak akan menjadi umat yang besar kecuali umat ini mengamalkan apa yg membuat umat dulu itu besar. ()

* Penulis adalah mahasiswa Kotabaru yang sekarang melanjutkan studi di Universitas Muhammadiyah Jakarta

Silakan kirim opini Anda ke jurnalbanuacom@gmail.com



Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar