Ketika Berita Sara Muncul di Kotabaru, Sejarah Catat Ada Penunggang di Balik Ribuan Nyawa


Foto ilustrasi: keepo.me

JURNALBANUA.COM, BANJARMASIN - Perkiraan antara 500 hingga lebih seribu orang tewas dalam peristiwa konflik Sara di Sampit 2001 silam.

Baru-baru saja di Penajam Kaltim terjadi peristiwa senada.

Dilansir dari tirto.id, Profesor Sejarah Asia Tenggara pada University of Amsterdam, Gerry van Klinken dalam bukunya Perang Kota Kecil (2007) menyebut, konflik di Sampit saat itu diperuncing, salah satunya pemberitaan media yang haus sensasi.

Media massa yang haus itu kata van Klinken mengipas-ngipaskan aroma chauvinisme kepada warga. Chauvinisme sendiri merupakan kondisi mental, setia secara ekstrem kepada pihak tertentu: bangsa, ras, suku, dan sejenisnya.

Namun malangnya, konflik berdarah itu justru ditunggangi oleh kepentingan politik.

Rinchi Andika Marry, secara khusus meneliti fakta kejadian Sampit dalam skripsinya berjudul Konflik Etnis antara Etnis Dayak dan Madura di Sampit dan Penyelesaiannya 2001-2006 (2014), di Universitas Indonesia.

Dalam penelitiannya, Rinchi menemukan dua aktor intelektual yang menunggangi sentimen kesukuan itu. Ke dua aktor yang merupakan pejabat di daerah itu kepada polisi mengakui jika mereka memang merencanakan kerusuhan.

Isu Sara sering menjadi wahana meriah oknum elit politik untuk kepentingan pribadi atau golongan



Propaganda serupa juga terjadi di daerah lain.

Dari data yang dimiliki lembaga Human Rights Watchs, bukan pertama kalinya perebutan pos jabatan memicu aksi kekerasan massal. Mei 2000, persaingan dua kandidat bupati yang berbeda agama juga menjadi faktor meledaknya kekerasan komunal yang menewaskan hampir 300 orang di Poso, Sulawesi.

Dosen di Atma Jaya Yogyakarta, A Ranggabumi Nuswantoro pada Media Massa dalam Situasi Konflik (2013) mengatakan, dalam kajian teoritis dan temuan di lapangan, media massa kadang justru menjadi penyebab konflik.

Nuswantoro menyajikan data bagaimana dua buah koran di Maluku saat itu menjadi pemicu meruncingnya konflik antar agama di Ambon, yang berujung kericuhan.

Dan baru-baru saja, warga Kotabaru Kalsel resah dengan pemberitaan salah satu media online yang menarasikan potensi bentrok antar etnis, di atas konflik agraria pada perbatasan Kotabaru dan Tanah Bumbu.

Berita berbau Sara itu muncul pada minggu pertama November tadi.

Dalam narasinya, pewarta terlihat membenturkan identitas kesukuan warga yang menguasai lahan dengan cara menanaminya. Versus identitas suku salah satu pengusaha yang disebut memiliki izin konsesi dari pemerintah pusat.

Narasi tersebut tentu saja memicu gelombang protes. Pewarta pun dinilai provokatif.

Jelang keberangkatan tokoh-tokoh adat ke Mapolda, 14 November tadi, terkait upaya mediasi dan klarifikasi, berita-berita berbau Sara tersebut akhirnya dihapus media bersangkutan.

Tokoh-tokoh etnis saat ke Mapolda Kalsel 14 November tadi. Foto: Jurnal Banua



Pengacara senior di Kotabaru, Tri Warman kepada Jurnal Banua, Senin (18/11) malam, menegaskan Sara adalah alat propaganda paling efektif untuk membuat konflik.

"Kita tidak tahu ada apa sebenarnya. Tapi semestinya wartawan tahu betapa bahayanya menyeret etnis dalam konflik," ujarnya.

Lanjut Warman, masalah Sara rentan ditunggangi kepentingan tertentu. Seperti pada beberapa kasus besar konflik etnis dalam sejarah Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat pada 1967.

Mangkok Merah yang menewaskan ribuan orang, mayoritas orang Tionghoa disinyalir melibatkan oknum elit kekuasaan saat itu.

Alumnus Fisip Unpad, Hiski Darmawan, dalam artikelnya Peristiwa Mangkok Merah, Ketika Imperialisme Mengawini Rasialisme, menulis peristiwa berdarah tersebut bertepatan dengan gerakan Orba membasmi pasukan binaan petinggi TNI golongan kiri.

Sekda Kotabaru Said Akhmad kepada Jurnal Banua, Selasa (19/11) sore mewanti-wanti agar jangan ada pihak yang coba-coba memainkan isu Sara di atas konflik agraria.

"Atas nama pemerintah daerah kami minta masyarakat tetap jaga toleransi antar suku, agama. Jangan mau terprovokasi yang menjurus ke Sara," tegasnya. (JB)




Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar