GORENG GORENG MINYAK GORENG?

Penulis (kiri) bersama Paunik

*) Yuri Muryanto Soedarno

Suatu siang. Sewaktu merapikan salah satu bongkol tanaman bakal bonsai pemberian seorang teman, hape saya bergetar. Saya periksa, ternyata pesan WA: undangan makan siang dari seorang teman.

Teman itu, kerap saya panggil: Pak Unik.

Paunik punya rumah sederhana di pinggir jalan besar, yang lahan rumahnya dia sewa.

Bila bertandang ke rumahnya, problem yang hadir adalah apabila saya ingin buang air. Baik buang air kecil apalagi buang air besar. Ruang itu tidak ada.

Saya teringat saat dulu waktu camping, bila ingin buang hajat. Jadi harus berjalan ke semak-semak sambil membawa air.

Paunik juga numpang entah di mana, bila ingin buang air  besar.

Di salah satu bidang lemari reot di sudut ruang di rumah sederhananya ada tulisan di karton yang ditempel dengan paku pines: ars longa vita brevis. Artinya: seni itu panjang hidup itu singkat.

Di halaman depan, ada bangkai vespa. Di atas bangkai itu ada tulisan: selamatkan vespa dari kepunahan. Paunik ke mana-mana naik vespa butut yang punya kursi gandengan itu.

Anda tahu pabrik minyak goreng megah di Desa Sungai Taib? Persis di depan pabrik itulah Paunik tinggal. Di poros jalan protokol Stagen - Kotabaru.

Sesampai di kediamannya saya disambutnya dengan: "selamat datang Den Bagus, silakan masuk di pondok kebesaran saya", katanya sambil mengacungkan jempol kanannya.

Saat kami makan, entah berapa kali Paunik mengucapkan maaf atas kesederhanaan hidangan.

"Dalam rangka apa undangan ini, Kang?" tanya saya.

"Tidak dalam rangka apa-apa" balasnya sambil tersenyum.

"Lama kita tidak ngobrol 'ngalor ngidul' sambil bersukur bahwa kita masih sehat serta bisa makan. Walau saat pandemi si covid dan si omicron, yang seakan dibarengi dengan minyak goreng yang mendadak gaib" tambahnya.

Hidangan di hadapan saya sederhana. Ada nasi dengan ubi kayu yang dikukus bersamaan, dihidangkan masih dengan pancinya.

Lauknya, ikan asin yang dibakar, sambal mentah dengan bau terasi dibakar. Juga bothok tahu tempe dengan kelapa yang dikukus, serta daun ubi kayu yang direbus.

Tidak ada yang digoreng.

Mendadak saya paham.

"Paunik, apa ini dalam rangka ikut prihatin atas gaibnya minyak goreng?"

Dia lalu tertawa.

Sambil memandangi salah satu lukisannya, Paunik bilang, kalau undangan makan siang itu adalah undangan keprihatinan.

Dia bertanya, apakah ada gagal panen atau apa ada akrobat permainan sulap? Dia lalu mengangkat bahu, mengeluh mengapa minyak goreng menjadi langka di bumi gemah ripah loh jinawi ini.

"Untuk dapat membeli minyak goreng, saya yang sudah tua ini harus ngantri dan barangnya terbatas, sehingga tidak kebagian," katanya.

Paunik yang umurnya mendekati 70 tahun ini, tidak mau disebut miskin. Menurutnya ukuran miskin adalah, kekurangan materi sekaligus minus moral serta tidak mau belajar juga tidak menikmati hidup, dibarengi tidak bersyukur atas hidup dan kehidupan.

"Jadi kalau minus materi tapi plus moral, dan masih mau belajar serta bersyukur. Itu bukan miskin. Itu menurut saya lho ya."


*). Yuri alias Cepe atau Utuh Iyur ;  kadang menulis tentang lingkungan, traveling, adventure, bisnis, puisi, cerpen, opini serta menyikapi fenomena sekitar.


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar