Renungan Keprihatinan Gaya Hiperealitas

Puncak Gunung Muria bak negeri di atas awan | Foto: winnetnews

Coretan Opini Intermezzo

Yuri Muryanto Soedarno *).

Pagi itu, cuaca berkabut dan dingin. Di sebuah warung sederhana, lereng pegunungan Muria, Jawa Tengah.

Sambil menikmati secangkir kopi lokal yang mengepul harum. Ditemani panganan tradisional umbi enthik (keladi), umbi ganyong serta pisang byar yang direbus, masih hangat. Saya memandang panorama, seolah sedang berada pada suatu negeri di atas awan. Sempurna.

Mengingatkan beberapa puluh tahun silam, saat daerah ini masih sangat asri. Rumah yang berlantai tanah, berdinding gedek.
Di dapur (pawon) ada tungku tanah (dhingkel, luweng) serta gentong tanah dan kendi. Tumpukan kayu bakar, bale bale, lincak dengan nuansa dapur yang berasap  hitam berjelaga.

Saat menikmati kopi yang khas dan panganan tradisional itu, kejiwaan saya seakan melayang ke suatu suasana 'jati diri yang sebenarnya'. Keaslian tradisi nusantara yang sehat, murah, tanpa mesin pabrikasi dan pengawet.

Begitulah kebersahajaan, apa adanya dan tanpa kepura puraan serta tidak malu untuk hidup sederhana.

Pernah suatu ketika, seorang teman  mengajak minum kopi di metropolis rimba beton yang terkesan mewah. Harga itu menurut saya terlalu mahal. Bahkan harga totalnya bisa membayar biaya listrik dan air ledeng saya, dua atau tiga bulan.

Secara realitas, ini bukan kelas wong ndeso seperti saya.

Bisa jadi, harga mahal itu selain dilekatkan biaya biaya lain, barangkali juga disematkan pula harga 'prestige' gengsi yang semu.

Saya juga terkadang heran, suatu 'wah' yang salah kaprah pun, ada relung bisnisnya. Ada segment market nya.

Kalau dibandingkan, harganya bisa berpuluh kali lipat dari harga di warung sederhana.

Sepertinya, sahabat yang dulu sering bersama camping dan naik gunung itu mulai berubah gaya hidupnya.  Padahal saya tahu bagaimana historis dan lifestyle nya.
Dulu, dia apa adanya, ramah dan bersahaja serta jauh dari kepongahan.

Sekarang, obrolan dan gayanya terkesan menunjukkan 'pamer materi' dan kelihatan 'jumawa'.

Dia juga bercerita kesuksesan bisnisnya, di bidang real estate, tambang, properti dan seabreg sukses kematerian lainnya.
Seolah kesuksesan adalah pencapaian kematerialan semata.

Sepertinya itu juga terkesan pada interaksi dan komunikasi di media sosialnya.

Apakah tidak disayangkan, bila kesuksesan dinikmati dengan nuansa lifestyle hiperealitas ?

Memang seseorang bisa berubah karena berbagai macam faktor. Begitulah perjalanan hidup. Itu hak dia sepenuhnya

Keprihatinanan yang muncul adalah bila timbangan keseimbangan prilaku diabaikan, dan melangkah dengan gaya hidup kematerian semata. Lalu menular ke orang lain. Serta menjangkiti orang muda dan generasi selanjutnya. Semoga tidak.

in memoriam : ( 'mari kita saling belajar untuk tidak salah kaprah menerima modernisasi, yang dapat menghilangkan keseimbangan secara mental' ; Pegunungan Muria, Colo, Dawe, Kudus, Jawa Tengah)


Yuri Muryanto Soedarno
*). Yuri, akrab di sapa Ceppe / atau Utuh Iyur, alumni Adm. Niaga FISIP ULM, pernah mengajar di beberapa Perguruan Tinggi, salah satu pelopor Mapala Fisipioneer, kadang menulis tentang lingkungan, traveling (petualangan), bisnis, puisi, serta menyikapi fenomena sekitar.


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar