Catatan dari Wabul Sawi Festival (2): Lelaki Tidak Mati Dua Kali Terpaksa Ngudut Lagi

Penulis muda asal Kalsel Rafii Syihab satu panggung dengan penulis populer lewat novel Saranjana, Gusti Gina di ajang Wabul Sawi Festival | FOTO: IST
Cerpennya boleh garang: Lelaki Tidak Mati Dua Kali. Tapi malam itu ia pucat, tangannya gemetar. "Boleh rokoknya satu, Bang?" ia berharap ketenangan dari sebatang nikotin, sebelum manggung dengan Gusti Gina. Padahal sudah lama ia berhenti ngudut.

ZALYAN SHODIQIN ABDI, BANJARBARU

Jumat (26/9) malam, gelanggang Akademi Bangku Panjang Minggu Raya padat orang. Mereka datang menanti ORU (Obrolan Seru) Yang Datang Terang — salah satu rangkaian kegiatan Wabul Sawi Festival yang menampilkan penulis muda asal Banua, Gusti Gina dan Rafii Syihab.

Nama terakhir inilah yang gugup bukan kepalang. Ini panggung pertamanya berbicara di depan publik, berdampingan dengan penulis nasional, disaksikan oleh banyak penyair, sastrawan, dan pelukis yang nama mereka sudah tidak asing. Sebut saja: Misbach Tamrin, Sandi Firly, Theresia Rumthe, Kadek Sonia, Dadang Ari Murtono, Aan Mansyur sampai Dea Anugrah.

"Aku tiba-tiba ditelepon Sandi Firly, diminta mengisi ORU dengan Gina. Gak ada persiapan, gak tahu harus ngomong apa," sungutnya di sudut Minggu Raya.

Bagaimana dia tidak tremor? Berbicara di ruang terbuka, di depan orang banyak, memang masih pengalaman asing baginya. Tambah pula, harus berhadapan dengan deretan seniman yang menjadi idolanya.

Rafii Syihab merokok sebelum naik panggung, padahal ia sudah berhenti ngudut | FOTO: JURNAL BANUA
Awalnya saya mengira rasa gugupnya normal. Tapi melihat wajahnya yang memutih (kulitnya padahal gelap), tangannya yang bergetar, saya menjadi khawatir. Tapi saya sembunyikan. Kalau saya perlihatkan, mungkin saja tambah ciut dia? Jadilah saya berpura-pura, kondisinya masih terlihat aman: "Normal saja kalau gugup." Mulut saya berkata begitu, tapi dalam hati saya: "Aduh, jangan sampai pingsan di panggung, dong — berabe ini urusan."

Malam berikutnya, kejadian serupa juga menimpa anak muda lainnya. Tapi yang satu ini, kalaupun dia pucat, tidak akan terlihat. Wajahnya putih terang, senyumnya menawan. Naila Soraya Hasibuan, akrab dipanggil Nay. "Aduh gimana ini, tampilanku sudah skena gak?" tanyanya kepada rekan-rekannya. Dia gelisah, kadang tegak, kadang membaringkan kepalanya di meja sudut Minggu Raya.

Nay jadi moderator tokoh idolanya Dea Anugrah di malam Wabul Sawi Festival, Banjarbaru | FOTO: IST
Sama dengan Rafii, Nay juga masih belia. Dia juga diminta panitia Wabul Sawi Festival jadi moderator ORU Filsafat Skena. Narasumbernya Dea Anugrah, akademisi Sumanso Hadi, dan Dirut Akademi Bangku Panjang Minggu Raya, Bang Ben. Masalahnya, Nay fans berat dengan Dea. Tambah pula, di kursi penonton ada idolanya: novelis Dadang Ari Murtono. "Suka liat cowok rambut gondrong," akunya.

Lalu bagaimana aksi kedua anak muda ini di atas panggung? Pingsan mereka? Perut kencang, wajah beku, muntah kuning?

Benarlah pesan bijak itu: tidak perlu khawatir dengan sesuatu yang belum terjadi. Ya, aksi panggung mereka berbuah tepuk tangan. Rafii awalnya terbata, tapi kemudian lancar jaya. Nay, di luar dugaan, — dara berwajah manis ini justru berhasil membuat suasana ORU jadi ceria.

Apa yang terjadi? Tentu saja karena kepercayaan para senior mereka — baik yang di belakang layar maupun yang di atas panggung. Kepercayaan itu menjadi udara yang kemudian menaungi mereka. Tatapan Gina yang merona di sampingnya rupanya telah memberi Rafii suntikan morfin percaya diri. Rafii lancar berbagi proses kreatifnya dalam membuat cerpen. Sementara itu, tingkah Dea yang gentleman rupanya seperti injeksi adrenalin ke nadi Nay. Semua itu berkelindan dengan sikap optimis para senior Minggu Raya dari kursi penonton.

Nay membawakan program ORU Filsafat Skena dengan ceria. Tidak tampak gundahnya sebelum naik panggung | FOTO: IST
Saya banyak menghadiri kegiatan seni, sastra, dan literasi. Tapi festival yang digelar Akademi Bangku Panjang dan Wabul Sawi memang beda. Mereka memberikan ruang lebih banyak kepada anak muda. Sudah dua kali saya ikut Wabul Sawi Festival. Tahun lalu, di Loksado, ada ratusan pelajar. Tahun ini lebih seribu anak muda!

Beginilah mestinya semangat literasi itu bergerak. Panggung harus banyak dipakai dan dinikmati generasi penerus. Karena jika tidak, literasi hanya akan jalan di tempat: senior tambah pandai, generasi penerus jadi penonton.

Selain Nay dan Rafii, dua hari Wabul Sawi Festival juga menjadi ajang mengasah diri para seniman muda lain. Sebut saja grup akustik Ugahari dan perwakilan grup seni dari banyak sekolah lainnya. Aksi mereka semua mendapat apresiasi. Bahkan Misbach Tamrin yang sudah berusia 84 tahun terlihat menikmati selama dua hari: datang pagi, pulang jelang dini hari.

Grup akustik Ugahari tampil di Wabul Sawi Festival. Grup musik ini awalnya adalah grup pengajian di Kampung Buku Banjarmasin | FOTO: NADA KAMILAH FOR JURNAL BANUA
Kini festival itu telah berlalu. Kesan tentu tinggal di hati masing-masing. Tapi mereka juga meninggalkan jejak yang dapat kita ikuti dalam peluncuran antologi puisi: Kariyau Hutan. Ada seratus penyair, ada seratus puisi di dalamnya. Berisi kritikan, harapan juga doa: Meratus harus kita pelihara demi anak cucu.

Usia festival ini masih muda, tentu masih banyak yang harus mereka benahi. Tahun lalu, walau digelar di Loksado, setiap kegiatan terasa maksimal. Materi sastra yang diberikan kepada para pelajar intens dan kuat. Tahun ini, di beberapa titik terasa memaksa: padatnya kegiatan membuat satu dua program seakan dikejar waktu. ORU Filsafat Skena, misalnya — bagi saya yang menonton seperti melihat balapan MotoGP; sedang asyik-asyiknya menikmati lap pertengahan, tiba-tiba lampu padam: siapa menang, klasemen berubah gak?

Wabul Sawi Festival usianya masih muda, lahir di ibu kota Kalimantan Selatan. Namun umurnya akan panjang, manfaatnya akan membesar, selama terus berpihak kepada generasi penerus, selama terus setia menjadi payung gagasan. Sehat terus pentolan Minggu Raya — Bang Ben, Sandi Firly, dan Hudan Nur — berikut barisan pemuda di belakang kalian.

( HABIS )


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.