Dari Pesisir ke Tanah Suci (2): Tembok Nabawi, Antara Fulus dan Iqra

Jemaah di pelataran Masjid Nabawi. Di balik pagar masjid berjejer hotel dan toko-toko suvenir | FOTO: JURNAL BANUA
Tembok Nabawi bagai batas antara fulus dan iqra. Nun berkilometer dari tepian kota, pria tua mengoyak prata berjalan kaki, demi cinta abaikan luka.

ZALYAN SHODIQIN ABDI, MADINAH

Konon, September udara sudah mulai ramah di Tanah Suci. Awalnya, kata ramah itu dalam bayangan saya: sejuk—adem.

Namun ketika turun dari pesawat, perubahan suhu mengejutkan kami. Saat itu matahari mulai tenggelam, tapi udara seperti menekan napas. Angin yang berhembus dari Laut Merah panas dan pengap. Kami berpandang-pandangan, geleng-geleng kepala. Bagaimana ceritanya angin terasa panas? Ada Abang sate kipas-kipas? Kembali masuk bandara, kembali bertemu semburan AC. Ah, ini baru namanya angin senja.

Tak disangka, ternyata petugas imigrasi Arab Saudi memeriksa kami dengan santai. Ada memeriksa jemaah sambil menonton pertandingan bola di hape. Ada yang memegang paspor tapi matanya ke mana-mana. Mungkin karena jumlah jemaah tiap hari mencapai puluhan ribu, pekerjaan mereka jadi rutinitas yang biasa. Masuk waktu Magrib, bergantian petugas-petugas berjubah itu melipir salat di lantai bandara.

Itulah kali pertama melihat orang Arab di tanah Arab. Saya heran dengan kulit wajah mereka yang terang—segar. Senyumnya seperti es krim di ujung bibir: mudah mencair.

Tapi petugas wanita hanya terlihat matanya. Mata bukan sembarang mata—ia macam bersinar, kelopak lebar bulan sabit. Mata-mata itu, walau terlihat tajam, kesannya seperti permukaan danau yang bisa tersenyum—tenang dan menawan. Arabian look memang lain, kawan.

Perempuan di Arab Saudi khususnya yang berada di Tanah Haram kebanyakan masih menggunakan cadar | FOTO: JURNAL BANUA
Oke, kita tinggalkan bandara, kita tinggalkan mata-mata di balik cadar. Satu bus besar membawa kami dari pesisir Jeddah menuju daratan tinggi Madinah. Lima jam perjalanan darat; malam telah membentang, kantuk telah menyerang. Bus melaju gemoy, jalan luas lagi lebar, tak ada namanya macet.

Pertengahan rute, bus melipir ke rest area. Saya lupa bertanya itu di mana. Hanya, tak asing suasananya—mirip film Aladdin. Ada deretan rumah batu beratap datar, di balik pagar berjejer pohon kurma. Udara tak sepanas sore tadi; anginnya hangat-hangat kuku.

Satu baris ruko panjang: ada minimarket, rumah makan, hingga toilet umum.

Toiletnya tanpa ember atau bak air, sebagian besar hanya lubang di lantai dengan selang air kecil menjuntai di sisi. Saya membuka beberapa pintu, mencari yang bersih, tapi sebagian selangnya tergeletak di dekat lubang.

Berbatasan dengan toilet, ada satu tempat makan. Dapurnya seperti menyatu dengan meja-meja. Tomatnya besar-besar, porsi nasinya jumbo, ayamnya berotot. Bentuk dan warna mereka mengundang selera, tapi anehnya nyaris tanpa aroma—berbeda dengan dapur rumah makan kita, yang dari jauh telah menari lewat bau rempah.

Tengah malam tibalah kami di Hotel Rua International, sekitar 300 meter dari pagar Masjid Nabawi, dan mungkin hanya seratus meter dari jalan raya King Fahad Road. Ini kawasan padat hotel, padat toko.

Pernah dengar ungkapan populer: “Beribadahlah seolah besok akan ke akhirat, kejarlah dunia seolah akan hidup selamanya? Ahli hadis lulusan Universitas Islam Madinah, Ustaz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, dalam catatannya menyebut, ungkapan yang sering dikira hadis Nabi itu sebenarnya sanadnya terputus. Pun begitu, ungkapan ini adalah gambaran tepat kontrasnya nuansa dalam dan luar Masjid Nabawi. Di masjid, orang-orang melapangkan hati untuk bermunajat—sementara di tepi luar: fulus, fulus, fulus.

Yup, di luar pagar Nabawi, bisnis hidup siang dan malam. Para pedagang kain dan suvenir seperti tanpa lelah terus menawarkan barangnya. “Kapan mereka tidur, ya?” ujar seorang teman, setelah dua hari kami di Madinah. Salat lima waktu, dari hotel ke masjid, melewati jalan yang kanan kirinya dipagari toko-toko, penjual wajahnya itu-itu saja. Rayuan mereka maut: “Murah-murah! Gratis-gratis!”

Dan tidak jarang, satu dua mendekat—hap!—tangan kita dicengkeram. Sekali tertangkap, mereka akan langsung menyeretmu ke dalam tokonya. Beli atau tidak, wajahmu akan mereka rekam. Nanti, ke luar hotel lagi, mereka kembali memburu: “Habibi, seratus ribu tiga!”

Matahari baru mulai beranjak dari batas timur, toko pedagang dekat Nabawi sudah ramai pembeli | FOTO: JURNAL BANUA
Wajah boleh Timur Tengah, tapi mereka menggoda dengan bahasa Indonesia. Kosakatanya berkelindan pada sanjung puja dan seni tawar-menawar—piawai mengonversi riyal ke rupiah.

Pagi hari, selepas jemaah menunaikan salat di Nabawi, tibalah ujian superberat bagi emak-emak. Ujian datang dari pria paruh baya berbadan kurus. Di tangannya menumpuk kain abaya—busana longgar khas Timur Tengah. Ia berteriak nyaring: “Jokowi 50 ribu! Prabowo 50 ribu!” Maksudnya, harga satu abaya itu Rp50 ribu. Para pedagang kadang menggunakan nama-nama populer di negeri kita untuk menarik perhatian—Raffi Ahmad tak ketinggalan.

Ramailah emak-emak merubung si kurus. Yang tadi turun hotel tangan kosong, kini naik kamar membawa kantong belanja kanan kiri.

Begitulah. Lima kali jemaah ke masjid artinya sepuluh kali mereka kena rayu—pulang dan pergi. Tambah lagi godaan pasar serba 1 riyal, atau cokelat Dubai. Atau yang bikin merinding: parfum beli satu gratis tiga! Dan yang bisa menghentikan mereka adalah panggilan salat. Pedagang biasanya mulai meninggalkan toko sekitar 15 menit sebelum azan.

Saya kadang berlama-lama mengamati tepi Madinah yang seperti pasar itu. Jemaah Indonesia yang superkonsumtif membuat suasana terasa tak asing. Bedanya, di sini panas sekali. Siang hari tembus 43 derajat!

Di ketinggian 625 meter di atas permukaan laut, angin Madinah membawa partikel panas gurun pasir. Siang sampai sore, embusan udara yang terperangkap padatnya bangunan kota di permukaan lalu lintas yang sibuk terasa seperti keluar dari oven. Rokok yang saya hisap di sudut kota, dekat Restoran Nusantara tepi King Fahad Road, sengak menekan dada.

Pertengahan September, menurut data IQAir, kualitas udara Madinah berada di rentang ModerateUnhealthy. Sebelas September, terjadi lonjakan partikulat menuju indikator tak sehat untuk sebagian orang—lansia dan anak-anak lebih baik di dalam rumah. Bandingkan dengan kualitas udara di Kalimantan Selatan pada hari yang sama, GoodModerate: angin segar udara lapang.

Emisi rumah, lalu lintas, dan industri lokal juga menyumbang buruknya kualitas udara. AC menyala sehari semalam, mesin kendaraan tak henti lalu-lalang. Merokok di luar ruangan begitu hanya memperparah kelelahan Anda.

Cuaca kering yang ekstrem tersebut ternyata tidak hanya cepat membuat kita lelah, fisik tampaknya juga mudah cedera di sana—khususnya jemaah yang bermalam di penginapan luar kota, arah Jabal Uhud. Mereka kebanyakan jalan kaki dari penginapan ke masjid berkilo-kilometer.

Jemaah berjalan kaki sekitar 3 kilometer menuju arah kota Madinah, tampak di belakangan kaki Jabal Uhud, pegunungan ini membentang sepanjang 7 kilometer di utara kota | FOTO: JURNAL BANUA
Jemaah yang bermalam di pinggiran ini, menengok logat dan romannya, banyak berasal dari Asia Selatan: Pakistan dan Afganistan—juga kawasan MENA seperti Iran dan Afrika (Iran baru bisa umrah pada 2024, sejak hubungan diplomatik dengan Saudi putus pada 2016).

Suatu waktu, di pelataran Nabawi. Di sebelah saya seorang pria sedang menunaikan salat sunat. Ketika dia sujud, saya melihat sisi luar kanan tapak kakinya melepuh, tampak merah akibat pendarahan dangkal. Di sudut paling parah, bagian tumit, hanya ia lapisi dengan plester kecil. Saya sempat bertanya asalnya—dia dari Afghanistan.

Jemaah asal Afghanistan terlihat bagian tumitnya terluka akibat berjalan kaki terlalu sering dalam durasi yang lama | FOTO: JURNAL BANUA
Ia lelaki yang terluka karena sepatu tua, mengandalkan tenaga pulang pergi dari Nabawi ke tepi kota—apa namanya kalau bukan karena cinta?

Atau sepasang suami istri makan siang hanya dengan beberapa sobek roti prata, lalu menyimpan rapi sisanya dalam kantung plastik sembari menolak pemberian uang.

Wajah-wajah Asia Selatan dan MENA itulah yang kemudian saya lihat malam-malam, sekitar tiga kilometer di luar kota Madinah, berjalan kaki dengan senyum merona. Wajah-wajah itulah yang saya lihat memadati puncak Jabal Rumaah, seakan meminta Uhud bersaksi. Dan kelak... roman serupa mereka pulalah yang saya saksikan bersenandung dengan irama menggetarkan di depan Gua Hira.

(Bersambung)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.