Dari Pesisir ke Tanah Suci (3): Tiga Riyal yang Mendebarkan di Kaki Uhud

Ahmed dari Mesir, "pahlawan" penulis di Jabal Uhud | FOTO: JURNAL BANUA
Malam selepas Isya, saya memutuskan ke luar kota. Sejak awal tiba, sosoknya tidak dapat saya abaikan. Jabal Uhud menjulang dan membentang, seakan memanggil-manggil dalam kesendiriannya.

ZALYAN SHODIQIN ABDI, MADINAH

Memakai celana kain, kaos, dan sandal jepit, saya berjalan kaki dari Nabawi ke utara. “Where's Uhud?” berkali-kali saya bertanya.

Ada bilang sudah dekat; ada pula menunjuk cakrawala. Sebenarnya papan petunjuk terpampang di jalan. Namun saya sengaja bertanya, sekadar memastikan, sekalian berinteraksi dengan orang-orang.

Sepanjang jalan, sopir taksi tak henti menawarkan jasanya. Suara klakson sahut-sahutan, angin berpasir panas menguar dari sisi mesin kendaraan mereka. Saya bergeming, harus jalan kaki. Tidak ingin terburu-buru tiba di tempat yang sejarahnya telah mengharu-biru sejak masih berseragam merah putih dulu.

Ada dua kisah Jabal Uhud yang melekat hingga sekarang. Hamzah dan Mush'ab bin Umair.

Hamzah, penghulu para syuhada. Lelaki perkasa, Asadullah—Singa Allah. Namanya adalah wewangian tentang keberanian; ucapan dan tindakannya bagai samsu merobek fajar—terang, tidak ada abu-abu.

Lalu Mush’ab? Ia adalah pantulan terbaik tentang keelokan pemuda Arab. Imam Ibn al-Athir berkata, jika Mush’ab berjalan, maka yang tertinggal di lantai adalah aroma parfumnya. Begitu indah rupanya, begitu lembut sikapnya. Semua kesenangan dunia menjelma dalam dirinya.

Namun ketika ia memilih Islam, pemuda kaya ini pun terasing. Keluarga tak lagi peduli. Busana mewah yang dahulu melekat berganti dengan kain burdah kasar, bertambal di sana-sini. Mush’ab gugur di Uhud, hanya mengenakan sepenggal kain usang yang bahkan tak cukup untuk menutupi seluruh jasadnya.

Mungkin karena itulah Uhud terus merenung. Sendiri menemani jejak yang telah pergi, menunggu hingga masanya tiba.

Malam hari, ketika warna kemerahannya berubah keemasan karena bermandikan cahaya lampu Madinah, Uhud tetap terlihat seolah-olah menepi dari perubahan lanskap kejayaan zaman. Membuat getarannya terasa berasal dari sesuatu yang lampau.

Jemaah salat di sudut timur pelataran Nabawi dekat gerbang 339, tampak di belakang bagian selatan Jabal Uhud membentang | FOTO: JURNAL BANUA
Dalam diamnya, Uhud telah memikat sepi... bahkan, sebelum jemaah mahfum, kalau gunung yang telah merawankan perasaanya itu adalah Uhud.

Tapi, gunung yang dicintai Nabi malam itu tak mudah dijamah—baru dua kilometer lebih, saya sudah kewalahan. Pernah berjalan semalaman di beberapa kota besar yang asing, tapi tidak pernah selelah di tanah gurun ini. Mungkin karena udara dan permukaan yang berat.

Di luar kota, saya bersua pria-pria berwajah Asia Selatan dan Timur Tengah. Mereka ke luar dari lorong pemukiman, melangkah ke arah Nabawi. Kadang berhenti di lapak penjual peci, tawar menawar, ada yang jadi membeli, lalu kembali berjalan. Mungkin, jemaah yang menginap jauh dari Nabawi inilah yang pernah saya lihat salat dengan kaki melepuh.

Jemaah yang menginap di luar kota, berjalan kaki arah Nabawi. Mereka kadang berhenti di lapak penjual peci, ada yang membeli, ada yang hanya mencoba-coba di kepalanya | FOTO: JURNAL BANUA
Tak terasa sudah satu jam melangkah. Uhud makin terang, area parkir bus peziarah seberang kanan jalan berpendar-pendar memantulkan cahaya. Sementara itu, jalur di depan membulat seperti putaran besar mengelilingi plaza sampai jauh. Di tengahnya, sebuah kubah diapit dua minaret menyala keemasan. Kompleks syuhada sudah di depan mata. Saya lihat peta, nyaris empat kilo saya berjalan.

Ingin menyeberang, tapi kendaraan melaju kencang hingga hampir mustahil dilintasi tanpa berlari. Atau perasaan keder itu, karena saya sudah amat kelelahan? Keringat terus membasahi wajah sejak dari tadi. Tumit menjerit-jerit, betis berteriak-teriak.

Antara meneruskan dan mundur, saya sempat bimbang. Bila dipaksa, apakah kuat mendaki Uhud? Atau mundur saja, tenaga bisa disimpan untuk esok?

Dari tempat berdiri, saya bisa melihat punggungnya bermandikan cahaya, terjal dan kukuh. Akhirnya saya memutar balik—menunda sampai pagi.

Kompleks syuhada di Jabal Uhud malam hari bermandikan cahaya keemasan | FOTO: JURNAL BANUA
Kemudian hari, pimpinan rombongan umrah menegur, mengapa saya tidak berkabar, mereka akan sedia untuk memandu. Saya cuma bilang, saya menyukai berjalan seperti traveller atau musafir: apa yang terjadi, biarlah terjadi. Saya ingin kedalaman, lewat ketidaktahuan-lewat pencarian.

Namun ia tetap terlihat gamang. Saya tenangkan dengan memperlihatkan hape: jika mendesak, akan segera saya hubungi. Di mata saya, Tanah Haram bukan tempat yang harus kita khawatirkan, walau berjalan sendiri.

Seperti ketika malam itu balik dari hadapan Uhud, jalur pejalan kaki sudah mulai sepi. Di kejauhan saya melihat seseorang berpakaian hitam, sendiri bergerak dari arah kota. Angin gurun menampar-nampar kainnya. Setelah dekat, ternyata ia adalah gadis Arab ber-abaya tanpa cadar. Wajahnya menawan. Pada sebuah persimpangan, ia berbelok ke pemukiman. Pelan dan lembut melangkah, bagai kelopak bunga yang bermain-main terbawa semilir. Tidak satupun pria mengusik, menegur, atau bersuit-suit menggodanya.

Memang, suatu waktu ada bertemu dengan jemaah tua tersesat, namun itu karena ia tak membawa alat komunikasi. Terkendala bahasa, bingung harus bagaimana.

PERJUMPAAN DENGAN AHMED

Keesokan paginya, rombongan jemaah travel berangkat dengan bus. Jadwalnya mendatangi beberapa titik. Saya memilih pergi sendiri seperti rencana semula: mendaki Uhud sekuat tenaga.

Kekasih hati ikut rombongan; saya pikir ini pilihan terbaik. Karena tak terbiasa di lapangan, lebih aman ia mode tur keliling kota dengan keluarga barunya: emak-emak pesisir Kotabaru.

Mengejar cuaca pagi yang masih ramah, saya memutuskan naik taksi. Sebenarnya bus umum lebih murah, tapi agak merepotkan karena kita mesti tahu rute. Ada juga sepeda listrik sewaan, tapi saya terkendala verifikasi; SMS otentifikasi telat, mungkin karena nomor seluler saya Indonesia.

Stasiun careem bike, sepeda listrik di dekat Uhud. Sepeda ini bisa kita sewa, stasiunnya tersebar di penjuru Madinah sampai ke luar kota | FOTO: JURNAL BANUA
Tiba depan jalan utama Nabawi sudah berjejer taksi konvensional. Melihat saya mendekat, mereka kembali berebut, ada yang langsung mendekat, ada juga memanggil-manggil melalui kaca mobilnya.

"Mekkah? Jeddah?"

"Uhud! How much?"

"Oh, oke. Come, come," ujar seorang sembari merengkuh bahu, menggiring saya ke kendaraannya.

Saya jadi teringat kelakuan pedagang di Nabawi, yang hampir selalu memakai teknik sok akrab, untuk melumpuhkan mangsanya.

"How, much?" Saya mendesak.

"Twenty five, brother"

Dua puluh lima riyal? Mahal amat. Cuma lima kilometer. 

Nego-nego, dapat paling murah 15 riyal ke Uhud, sekitar enam puluh ribuan rupiah. Ada juga tarif 5 riyal, tapi harus menunggu taksi penuh. Saya nekat menawar 3 riyal—tak ada satu pun taksi yang mau.

Lima riyal sebenarnya masuk akal. Sebagai gambaran, biaya makan di Madinah paling murah sekitar 15 riyal. Tapi ini sudah bukan soal nominal semata; sewaktu nego sengit dengan beberapa dari mereka, saya sudah terpancing bermain dalam gairah hidup: menanti kemungkinan-kemungkinan ajaib alam raya.

Berdirilah saya di tepi jalan sambil mengangkat tiga jari, dan berteriak: “Uhud, three riyals!”

Satu dua taksi lewat, tertawa sambil melambai: menolak. Saya ngotot, terus acungkan tiga jari. Satu dua taksi datang lagi. Mendengar Uhud, melihat tanda tiga jari, mereka juga melengos.

Dan terjadilah apa yang memang ditakdirkan terjadi.

Taksi itu tua, sopirnya juga tua. Keduanya—taksi dan sopir—tampak tertawa bersamaan ketika datang mendekat. “Oke,” ujarnya sembari menepi. Giginya tersenyum lebar seiring pintu penumpang yang membuka.

Are you sure? Three riyals?” saya kaget sendiri.

Namun cengirannya makin membesar. Ia nampaknya menangkap keraguan saya, lalu geli sendiri. "Three riyals?" saya kembali memastikan.

Dari sudut mata, saya bisa merasakan para sopir mangkal yang menolak tadi nanar memperhatikan. Mungkin dalam pikiran mereka: buset, ada yang mau tiga riyal?

Tapi lelaki tua berjanggut itu masih saja tersenyum. Ditepuk-tepuknya kursi penumpang, meminta saya lekas naik. Saya bimbang, saya tatap mata si tua: tetap tersenyum. Saya tatap wajah-wajah para sopir mangkal: ekspresi mereka sulit diartikan.

Saya pernah baca di forum-forum diskusi, ada jemaah dan sopir awalnya deal sekian riyal, tapi di tujuan harga berubah. Namun ya, sudahlah—saya tidak akan tahu jika tidak mencoba, kan?

Hup, saya duduk. Sedan tua berjalan; kaca depan dan samping full terbuka; tidak ada AC. Masih pagi, angin belum keluar dari oven (baca seri sebelumnya).

Berbincanglah kami, meski patah-patah. Ia hanya punya sedikit kosakata bahasa Inggris, sementara saya benar-benar buta bahasa Arab, tahunya hanya beberapa kata populer, atau kata yang ada di surah-surah pendek itu; shiratal mustaqim, jalan yang lurus; ya ayyuhannas, wahai manusia.

Intinya, dia mengaku bernama Ahmed dari Mesir. Lalu, dalam bahasa Arab, ia menjelaskan sesuatu—sepertinya tentang Uhud—tetapi saya tidak mengerti sama sekali.

Tidak lama, kami sudah sampai di kaki Uhud. Sedan berhenti di parkiran. Manusia tumpah di sana. Tibalah saat yang mendebarkan. Benarkah ini bayar 3 riyal?

Saya mengeluarkan koin-koin, ia tertawa. Saya selidik wajahnya; tawa itu tulus, tanpa gurat keluhan. Saya serahkan 4 riyal, ia menerima dengan riang. Namun, seolah bisa membaca perasaan saya, Ahmed berisyarat agar saya tidak perlu khawatir soal angka itu.

Ahmed saat menerima tarif jasanya. Seperti inilah senyumnya yang lebar saat pertama kali menghampiri penulis | FOTO: JURNAL BANUA
Saya turun, ia turun. Lalu, tanpa saya minta, Ahmed menjelma pemandu wisata, menjelaskan banyak hal tentang Uhud. Nama Hamzah disebutnya, Jabal Rumat juga. Ketika menjelaskan, tangannya memperagakan orang yang sedang memanah.

Dengung manusia seperti bernyanyi di sekeliling kami. Ada menggumam dalam doa, ada wanita menawarkan suvenir, ada suara anak-anak berlarian sambil tertawa. Merpati berkelompok-kelompok terbang rendah, seolah mencari peziarah yang datang membawa biji-bijian. Semua sibuk dengan hajatnya 

Ahmed kemudian menunjuk makam para syuhada, dan meminta saya berziarah ke sana. Saya bilang, juga ingin naik ke Uhud jalan kaki—saya memperagakan dua jari berjalan di atas telapak tangan—ia menunjuk arah yang harus saya tempuh.

Lalu Ahmed hendak ke mana? Karena ia terus berjalan ke arah kerumunan, ia bilang ingin mencari minum, "drink tea", sembari menggoyang-goyangkan koin di tangannya, sehingga berbunyi gemerincing. Matanya berkilat jenaka.

Sebelum kami berpisah, saya mendengar ia mengucapkan salam untuk para syuhada Uhud. 

(Bersambung)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.