![]() |
Suasana di halaman Masjid Nabawi, Madinah pagi hari | FOTO: JURNAL BANUA |
Berangkat ke Tanah Suci? Membayangkan mungkin pernah. Namun, bersungguh-sungguh ingin ke sana, sepertinya masih jauh. Tapi—hari esok siapa yang tahu?
ZALYAN SHODIQIN ABDI, BANJARMASIN
Akhir Agustus siang, pesisir selatan Kalsel seperti tembang peraduan masa kecil—tenda warna-warni digelar, celoteh remaja peserta jurnalistik PWI berkelindan dengan nyanyian ombak dan serangga. Semua membaur dalam lirih: Affan baru saja pergi, kini puluhan anak muda menempa diri di tepi jalan penyaksi.
Dalam suasana reflektif itulah hape saya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. “Pian (bahasa Banjar: Anda) diminta umrah tanggal 10 September, bisa ya?” Belum sempat saya cerna dengan baik—bingung harus membalas apa—masuk lagi pesannya: “Berangkat dengan kekasih hati.”
Pesan itu datang dari Fahrian Noor—saudara pengusaha asal Kalimantan, Tajerian Noor.
Saya berdiri dari tempat duduk di tepi pantai. Berjalan mondar-mandir, menatap satu dua kapal nelayan membelah horizon. Perasaan mendadak penuh—di atas kepala seperti ada jari-jemari takdir yang bergoyang-goyang siap menjentik. “Sidin (Banjar: dia) tiba-tiba ingat dengan Pian,” jelas Fahri mengapa nama saya masuk dalam daftar 10 orang beruntung yang diberikan Tajerian Noor tiket ke Tanah Suci.
Yup—Tajeri memang dikenal filantropis, mengumrahkan warga dan kenalannya telah acap kali ia lakukan. Urus paspor—suntik ini dan itu—semua dibantu Fahri. Pendek kata, kami hanya menyiapkan fisik dan mental. Semoga makin luas rezekinya orang baik.
Rabu, 10 September pagi, Jet Air menerbangkan kami dari Banjarbaru ke Jakarta.
Sampai di Bandara Soekarno–Hatta ternyata jemaah umrah bukan hanya kami, tetapi banyak dari daerah lain juga. Terminal penerbangan internasional riuh rendah. Anak-anak berlarian. Orang tua sibuk memeriksa isi tas. Pimpinan travel sibuk mengingatkan ini dan itu. Ratusan jemaah hilir-mudik—warna seragam mereka semarak; ada berkelir lembut; ada merona genit campuran biru merah muda. September ceria: suhu udara di Tanah Suci katanya sudah mulai bersahabat. Belakangan baru tahu, arti kata “bersahabat” tidak seperti yang saya kira.
Di luar ruang tunggu juga penuh. Jemaah merokok di sudut-sudut bandara. Bukan hanya pria, juga ada emak-emak. “Saya merokok sejak muda,” ujar seorang—saya lupa namanya. Dia berasal dari Cianjur, usianya di atas 50 tahun. Mereka melantai, bercakap riang—habis satu batang, bakar lagi batang yang lain. Aroma parfum bercampur dengan sengak asap tembakau.
Omong-omong soal udut: ternyata Arab Saudi, sejak 2025, sudah melarang penjualan rokok secara terbuka. Alasan beragam, paling mendesak soal kesehatan. Global Action to End Smoking (GAES) mencatat bahwa pada 2021 rokok diperkirakan menjadi salah satu faktor risiko utama penyumbang kematian dan kecacatan di negara ini. Kerajaan tengah memerangi tembakau—pajak dikerek sampai seratus persen!
![]() |
Sudut kota Madinah sore hari, dekat Masjid Nabawi | FOTO: JURNAL BANUA |
Mahal dong di sana? Banget!
Tapi jangan khawatir. Bagi Anda pecandu rokok, Arab Saudi sebenarnya tidak cocok jadi tempat “ngudut”. Kalau juga takut nanti liur masam, bolehlah bawa satu bungkus saja—atau tidak usah sama sekali. Percayalah, jika Anda ingin berhenti merokok, gurun pasir nampaknya jadi tempat terbaik. Mengapa begitu? Nanti saya ceritakan.
Sekitar pukul 12 waktu Jakarta, jemaah yang menyemut di luar ruangan—yang masih merokok—berebut kembali masuk. Pesawat sudah siap terbang meninggalkan tanah air. Sebelum masuk pesawat, kami bergantian melewati gerbang pemeriksaan imigrasi. Satu dua jemaah tersendat di pemindai digital—penyebabnya teknis. Terlalu cepat menggerakkan wajah, sementara mesin pemindai belum selesai bekerja. Biasa, gugup.
“Tenang, santai saja,” bimbing petugas imigrasi. Dibilang begitu, jemaah makin gelisah—seorang rekannya mencoba memandu. “Sudah, Anda diam saja. Biar saya yang urus,” sungut petugas imigrasi. Setelah berkali-kali mencoba, jemaah yang wajahnya sudah dicengkeram frustasi itu akhirnya lolos juga.
Satu... dua... seratus... tiga ratus... Akhirnya kabin Airbus A330 berkapasitas 436 kursi terisi penuh. Para pramugari berjilbab gesit mengatur bagasi kabin; membantu orang tua memasang sabuk; mengajari penumpang buang air kecil di toilet. Sibuk. Suara ratusan jemaah—macam rombongan lebah di udara. Kosa kata suku saling silang: Bugis, Banjar, Jawa, Madura, Sunda, Lombok. Kabin pesawat menjelma miniatur Indonesia dalam suasana pasar subuh.
Riuh rendah barulah mereda ketika pesawat lepas landas. Dan ketika badan pesawat mulai terangkat, ketika sayap mulai membelah awan, dengung lebah berganti gumaman doa-doa. Penerbangan terlama dalam hidup: sepuluh jam di udara—nyaris sehari. Kami pasrahkan semua kepada penguasa langit dan bumi. Tua-muda, kurus-gemuk, mulus-bertato: semua menyapa Tuhannya. Airbus A330 meluncur, badannya mulus menembus awan. Terus naik—hingga daratan tidak lagi terlihat.
Dari timur ke barat, pesawat kami mengejar matahari. Membelah Samudra Hindia, kemudian masuk udara Sri Lanka. Lalu melebar ke selatan India—menghindari perbatasan rawan: Kashmir. Tentu Anda ingat, langit utara tepi India - Pakistan belum lama tadi dihujani cahaya rudal—dua negara berebut “zindabad”. Siapa berani ambil risiko? Perang seperti mudah disulut dengan apa saja. Dadah Veer Zaara—kami melintas di selatan kalian.
![]() |
Pesawat Airbus A330 kapasitas 436 kursi penumpang memasuki kota Kerajaan Arab Saudi | FOTO: JURNAL BANUA |
Sementara itu dalam kabin, jemaah juga saling berebut: berebut toilet. Mereka antre panjang di lorong-lorong. Saya kira ada dua faktor penyebabnya: metabolisme usia, dan penganan pra terbang dari maskapai yang menggoda.
Sebelum terbang, kami dihidangkan beragam makanan, kue, buah-buahan, dan kopi. Semuanya menggiurkan. Di ruang tunggu dari pagi ke siang itu, saya tandaskan satu piring buah, dua piring kue, sepiring nasi, dan sepertinya tiga cangkir kopi.
Sekuat apapun saya menahan kantung kemih, akhirnya menyerah juga. Dan, ketakutan saya terbukti: tisu berserakan di dalam toilet—berikut di wastafelnya. Di lubang kloset masih ada bekas orang buang air besar—rupanya itulah sumber aroma aneh yang menyaingi sengatan antiseptik setiap kali pintu toilet terbuka. Saya tuntaskan hajat dengan tegang. Apa boleh buat. Kelak ini jadi pengalaman emas, karena ketika balik ke tanah air, saya berhasil gak mampir ke toilet.
Selisih waktu—Jakarta lebih cepat empat jam—membuat penerbangan kami ke barat laut tak pernah bertemu malam. Ketika pesawat mulai merendah di langit Timur Tengah, matahari masih menusuk mata dari depan. Kami bergantian melihat daratan: lautan padang pasir umpama bentangan kulit unta raksasa, jalur-jalurnya membentuk garis-garis seperti urat nadi. Nyaris tidak ada pohon—kering, gersang. Inikah tanah para nabi itu? Mendebarkan.
![]() |
Jemaah umrah berpose di pigura raksasa depan jalan utama Masjid Nabawi | FOTO: JURNAL BANUA |
Memasuki langit Arab Saudi, kota-kota mulai terlihat. Bangunan tinggi dan rendah tersusun rapi—dipisahkan jalan-jalan besar sejajar yang melebar menjauh dari titik tengah kota, seperti jaring laba-laba.
Tirai jendela semua sudah dibuka. Wajah-wajah lelah berubah cerah. Matahari sejajar dengan sayap kiri pesawat. Antusias. Tinggal hitungan menit, kami akan mendarat.
di mana Jabal Uhud?
penyaksi yang menyendiri
di sudut mana berkuda
Mushab bin Umair
rupawan hartawan
pergi dengan kain usang
gelegarmu wahai Hamzah
adakah tertinggal di lembah...
Dug—roda Airbus A330 menapak landasan King Abdulaziz. Langit telah berubah keemasan. Tanah Haram—kami datang. Madinah—kami ingin melihat cahayamu. (bersambung)
![]() |
Persiapan mendarat di King Abdulaziz, matahari masih di atas horizon | FOTO: JURNAL BANUA |