JURNALBANUA.COM, BANJARBARU — Ruang BPMP Kota Banjarbaru mendadak hening; suara batu-batu, gerisik pasir, dan aroma kelopak bunga menjadi media penyair senior Theresia Rumthe mengantar para peserta menulis puisi. Satu dua peserta mulai larut, beberapa menitikkan air mata. Sementara di ruang sebelah, Imam Qalyubi menggerakkan “otak kiri” dalam pelatihan esai; di atasnya Dadang Ari Murtono dan Kadek Sonia Piscayanti bergulat dalam materi novel dan cerpen.
Ya, hari kedua Wabul Sawi Festival dalam program MTN (Manajemen Talenta Nasional Kemenbud) diisi dengan pelatihan sastra dalam empat kategori: puisi, esai, novel, dan cerpen, Sabtu, 27 September 2025.
Panitia menggunakan empat ruang BPMP (Balai Penjaminan Mutu Pendidikan) sebagai tempat pelatihan bagi 200 peserta.
Direktur Wabul Sawi Festival, Hudan Nur, menjelaskan hari kedua ini adalah program MTN Asah Bakat. Setiap kelas diisi 50 peserta. Mereka sebelumnya mendaftar ajang MTN dan lolos seleksi. Nanti dari tiap kelas akan dipilih beberapa peserta terbaik menjadi talenta nasional yang akan mendapat pembinaan dari Kemenbud, salah satunya kesempatan belajar ke luar negeri.
Dari keempat kelas itu, kelas puisi Rumthe menghadirkan suasana berbeda. Jika tiga kelas lainnya berkutat pada teknis, kelas Rumthe fokus membawa peserta ke dalam suasana perenungan.
Melalui media batu, pasir, dan kelopak bunga yang ia kumpulkan dari sekitar lokasi, Rumthe membawa 50 pelajar dan penyair masuk ke dalam jiwa puisi: makna, suara, dan perasaan.
"Tulislah dari kedalaman jiwamu; jangan takut, jangan diedit, tulis saja," pesannya.
Ia lalu memberikan contoh bagaimana masuk ke dalam kedalaman perasaan itu. Menggunakan media batu, Rumthe memukulkannya ke lantai dan ke meja, sembari menyelam ke masa lalunya — masa kanak-kanaknya. Kemudian, kata demi kata mengalir melalui bibirnya, berkisah tentang kehilangan dan tanya yang belum terjawab.
Aksi Rumthe yang teatrikal itu rupanya berhasil mengantar para peserta masuk ke pengalaman personal masing-masing. Ketika mereka diminta membuat beberapa puisi dan membacakannya setelah melalui perenungan, tidak sedikit yang menitikkan air mata.
dari kecil aku gemar mencuri batu
yang jatuh dari mulut ayahku
batu-batu yang dihadiahkan ayah kepada ibu
pun kupungut satu per satu
beberapa yang keras kusimpan dalam baju
beberapa kupajang di dinding kamarku
Penggalan puisi di atas ditulis tangan dan dibacakan salah satu peserta. Bibirnya gemetar, matanya basah. Entah apa yang dia alami di masa kecilnya itu. Kata-kata sederhana, pendek, dan apa adanya nyatanya menghadirkan perasaan lirih kepada para pendengarnya.
Sementara itu, di kelas cerpen, Kadek Sonia terpaksa menyeleksi 50 cerpen dengan cepat. "Satu yang harus kalian ingat: sastra itu adalah bahasa. Kesalahan kecil seperti penulisan imbuhan sudah bisa membuat karya kalian segera disingkirkan editor, walaupun ceritanya bagus," ujarnya.
![]() |
Cerpenis Kadek Sonia Piscayanti memberikan apresiasi kepada tiga penulis cerpen terbaik dalam kelas menulisnya | FOTO: JURNAL BANUA |
Dia juga mengingatkan para peserta bahwa cerpen berbeda dengan novel. Dalam cerpen, penulis harus menahan diri. Tidak ada satu kata pun yang sia-sia, karena cerpen dibatasi ruang. Premis harus tidak biasa, unik, dan orisinal. Lalu pembuka harus spesial.
"Menulis cerpen lebih sulit daripada novel jika kita ingin mendapatkan kesan yang sama kepada pembaca," ujarnya.
Kepada wartawan, ia memberikan kiat agar cerpen dapat memberikan kepuasan kepada pembaca walau kisahnya singkat: premis harus benar-benar kuat. Selanjutnya, tentu saja, calon penulis cerpen harus terus menulis; tidak ada cara lain.
"Saya lihat beberapa cerpen punya premis kuat, tapi disampaikan dengan cara bercerita yang membosankan. Ini hanya persoalan jam terbang," pungkasnya.
Sementara itu, Dadang — yang tampil eksentrik dengan rambut gondrong dan model pakaian khasnya — mengatakan untuk menjadi penulis novel kita harus pandai merasa dan mendengar. Kedalaman empati diperlukan agar saat menulis, setiap tokoh menjadi hidup dengan semua karakter dan konflik mereka.
![]() |
Novelis Dadang Ari Murtono tampil eksentrik saat memberikan materi kiat menulis novel | FOTO: JURNAL BANUA |
Menurut Dadang, para calon penulis tidak perlu khawatir tentang inspirasi dan ide cerita; semua sudah tersedia di sekitar kita. "Kuncinya: menjadi pendengar. Itu kenapa kita diberi dua telinga dan satu mulut," ujarnya.
Dadang mengakui bahwa ia adalah salah satu penulis yang tidak percaya pada block writing. Novel yang ia tulis, ujarnya, adalah rangkaian kisah yang ia dapatkan dari pengalaman sehari-hari.
"Untuk mendapatkan kedalaman kesan, cerpen memang lebih sulit daripada novel. Cuma novel memerlukan nafas panjang. Nah dibanding cerpen, menurut saya puisi jauh lebih sulit," ujarnya kepada wartawan.
Di sisi lain, jauh di luar dugaan, dalam pembelajaran menulis esai Imam Qalyubi justru meminta para peserta menyingkirkan dulu semua teori penulisan ala akademis. "Menulislah; lupakan semua teori itu," ujarnya — ditirukan ulang salah satu peserta, Zulfan Fauzi, kepada wartawan JurnalBanua.com.
Sebab ketika seseorang menulis esai, yang paling penting adalah menuangkan gagasan dan meninggalkan warisan pemikiran. Semua itu berawal dari sikap peduli terhadap kondisi di sekitar. Dengan kata lain, dalam esai gagasan adalah yang paling utama.
Secara umum, seluruh kelas mendapat kesan positif dari para peserta. Dan tentu, seperti telah diduga, kelas puisi memberikan kesan yang tidak diberikan kelas lainnya.
"Ibu Rumthe bisa membawa saya ke kedalaman perasaan," ujar pelajar Ristie Nurhaliza. Rumthe, jelasnya, membuat kelas terasa seperti alam raya — tempat perasaan para peserta menguar dalam jelmaan kata-kata. (zal)