JURNALBANUA.COM, KOTABARU – Alih-alih meredakan ketegangan dua warga yang berselisih, pernyataan Kapolsek Pulau Laut Barat, AKP Amir Hasan, justru diduga menjadi pemicu mandeknya proses restorative justice.
Ucapan yang terkesan menuding korban hanya mencari keuntungan finansial, sempat membuat mediasi berjalan buntu.
Peristiwa bermula pada Selasa, 29 Juli, ketika seorang sopir mobil berinisial AR melaporkan dugaan pemukulan yang dilakukan seorang mahasiswa, LN, ke Polsek Pulau Laut Barat. Laporannya beralasan, di dahinya terlihat ada benjolan bekas pukulan.
Sementara itu, LN disebut tidak terima karena terkena debu dari mobil AR yang melaju di jalan rusak. Keduanya sempat berhenti di tepi jalan, dan cekcok berujung pemukulan serta perkelahian yang kemudian dilerai warga.
AR awalnya bersikukuh agar kasus tersebut diproses secara hukum. Namun pihak Polsek menawarkan mekanisme restorative justice sebagai jalan tengah. AR pun akhirnya luluh setelah dibujuk, termasuk dengan tawaran agar LN menanggung biaya pengobatan.
Sayangnya, mediasi tak membuahkan hasil. Proses negosiasi terhenti, selain belum menemukan kata sepakat, kedua pihak juga masih bersitegang soal siapa yang memulai keributan.
Wartawan yang berada di lokasi menyarankan agar mediasi tidak dipaksakan selesai malam itu juga, mengingat kondisi mental kedua belah pihak belum stabil.
Namun, di tengah situasi yang menuntut ketenangan, Kapolsek Amir Hasan justru melontarkan komentar yang dinilai tidak simpatik.
"Kalau begini, berarti cari duit," ujarnya kepada AR.
Komentar tersebut sontak mengubah ekspresi AR yang tampak terkejut. Proses mediasi kemudian dilanjutkan keesokan harinya. Setelah saran tambahan dari wartawan, mediasi akhirnya mencapai kesepakatan. LN menandatangani surat permintaan maaf bermaterai dan bersedia memberikan bantuan biaya pengobatan kepada AR.
Dikonfirmasi pada 2 Agustus, AKP Amir Hasan mengatakan tidak berniat menyinggung perasaan korban.
"Jangan marah-marah lah sama Kapolsek," ujarnya.
Ia mengaku ucapannya muncul secara spontan, mengingat ia sering menemui kasus kekerasan yang dimanfaatkan korban untuk meraup keuntungan.
Namun, pakar hukum Dr. Muhammad Pazri SH MH menilai alasan tersebut tidak dapat diterima.
"Dalam kasus tersebut, polisi hanya mediator. Harus profesional dan proporsional. Polisi mesti jadi penengah bukan justru pemantik konflik," tegasnya saat dimintai tanggapan, Rabu 6 Agustus 2025.
Pazri menjelaskan, restorative justice memang memungkinkan diterapkan dalam kasus ini. Namun keberhasilannya sangat bergantung pada kebijakan dan sikap aparat kepolisian.
Ia mengakui persoalan serupa kerap terjadi di daerah, khususnya di wilayah dengan kontrol masyarakat yang masih lemah. Selain kualitas SDM aparat penegak hukum, ia menekankan pentingnya pengawasan publik secara terus-menerus.
"Selain penguatan SDM, juga perlu ada kontrol publik yang terus menerus dilakukan," ujarnya.
Pazri berharap kejadian serupa tidak kembali terulang, dan meminta kepolisian, terutama di level Polsek yang bersentuhan langsung dengan warga, membangun rasa aman dan kepercayaan di tengah masyarakat.
(zal/jb)