Perjalanan Jelata di Kapal Kerakyatan


Coretan Opini Intermezo

Yuri  Muryanto Soedarno *).

Entahlah, saya sama sekali tidak merasa terganggu dengan datangnya orang tua yang tetiba duduk di samping saya.

Perjalanan dengan kapal kayu pengangkut orang,  hewan dan barang.
Ditambah cuaca panas karena mulai tercium aroma kemarau.

Lengkaplah sudah semerbak bau di kapal itu. Dari bermacam bau keringat, parfum yang dipakai, minyak angin, minyak kayu putih, sayur mayur, sembako, hingga bau kotoran ayam,  kambing dan sapi.
Seakan menunjukkan potret pada sebuah bingkai rakyat jelata di pesisir.



Bau yang jauh berbeda dengan saat naik kapal terbang.

Di mana tiap tiap bau, mengaromakan spesifikasi dengan ciri khas keberagamannya.

Bau tidak bisa dibedakan bau atas dan bau bawah. Bau adalah salah satu keunikan milik-NYA.

Saya diam dan menikmati proses perjalanan. Tidak ada tempat untuk ego dan marah di sini. Semua orang punya kepentingan sampai pada tempat tujuannya.

Memunculkan sifat ego dan sok jagoan akan menimbulkan kemarahan publik di kapal, bahasa saling mengerti dan memahami sangat diperlukan pada situsional itu.

Perlahan kapal mulai bergerak, udara panas pelabuhan mulai berubah  dengan masuknya angin. Semilir angin, membuat kegerahan mulai berkurang.

Suasana keakraban tradisional mulai terbentuk. Seorang ibu dan suaminya menawarkan bekal kue yang dibawanya,  demikian pula bapak tua di samping saya juga menawarkan minum.

Ada pula seorang bapak dengan setengah berteriak pada seisi kapal yang menawarkan buah langsat (duku) dan rambai **). Gratis.

Teriakannya yang kocak menimbulkan senyuman dan tawa. "Siapa handak, makan haja,  kada babayaran, jangan besusupanan," ujarnya dalam bahasa banjar. Artinya: siapa mau, makan saja,  tidak bayar, jangan malu malu.

Seakan tersugesti saya pun turut menawarkan permen yang saya beli di pelabuhan, pada orang orang di sekitar saya.

Bapak tua di samping saya, mengambil satu dan berkata pelan setengah berbisik, "Permen kemanusiaan universal," katanya, sambil tersenyum.

Yuri Muryanto di atas Jeep Willys


Saya menatapnya seraya tersenyum dan berujar, "Permen empati kejiwaan Pak".
Dia pun menatap saya dan tertawa.

Dalam hati saya terkejut dan takjub.
Mantap.

Karena pernyataan 'permen kemanusiaan universal' hadir tidak di kapal pesiar.
Pernyataan  itu justru hadir di kapal kayu yang sangat sederhana, yang jauh dari safety prosedur, jauh dari seputar keasuransian, dan jauh dari pengelolaan birokrasi.

Sarana transportasi yang berstandar pada  'prosedur nasib'.

Di tengah selat mesin kapal tiba-tiba ngadat. Saya sempat gelisah, penumpang lain juga demikian.

Untunglah nahkoda, yang merangkap juru mesin, dan juga merangkap anak buah kapal (ABK) sigap menangani perbaikan mesin. Mesin kapal pun normal kembali.

Ada hal yang menarik saat  bertemu  dengan bapak tua yang simpatik itu. Masih kuat dalam ingatan, tatkala dengan sopannya dia menanyakan beberapa pertanyaan.

Dia menanyakan ke saya. Apakah pernah jalan kaki, naik sepeda ontel, naik sepeda motor, naik mobil, naik pesawat menuju suatu tempat?

Karena jawaban saya sudah pernah melakukan semua. Dia menyuruh saya bersyukur, karena sudah pernah merasakan semua.

Selanjutnya, dia juga menyarankan saya untuk belajar 'menyamakan rasa dan gejala jiwa' saat naik pesawat, saat naik mobil, tetapi gejala prilaku harus sama seperti pada saat jalan kaki.

Belajarlah menstabilkan prilaku, jangan kalahkan jati diri lalu bersikap pongah,  hanya karena besi besi yang dirangkai menjadi mesin dan alat yang dipakai manusia.

Alangkah lucunya kalau jiwa manusia,  justru levelnya di bawah besi, lalu sombong dan tinggi hati.

Saat jalan kaki kita masih berpijak di bumi,  tidak di awang awang. Tetapi saat naik sepeda, naik motor, naik mobil, naik pesawat. Itu sudah mulai secara bertahap tidak menginjak bumi dan di awang awang.

Belajarlah mengingat bahwa kita masih hidup dan berpijak di tanah dan makan minum dari hasil bumi.



Alangkah anehnya, kalau lupa di mana berpijak ?

Bapak tua, rakyat jelata dari pesisir yang cerdas dan hebat, walau cara berpakaiannya agak aneh. Hingga saya lupa menanyakan nama dan alamatnya.

**). Pohon Rambai / Buah Rambai (Baccaurea Motleyana) yang biasa di makan Bekantan (Nasalis Larvatus)  kera hidung panjang dari Kalimantan.-

*). Yuri akrab dipangil Ceppe arau Utuh Iyur,  alumni Adm. Niaga FISIP ULM,  salah satu pelopor Mapala Fisipioneer, kadang menulis tentang Lingkungan,  Traveling,  Bisnis, Puisi serta menyikapi fenomena sekitar.-


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar