Mandai, Kalangkala dan Cacapan, Suatu Waktu di Lembah Meratus


Coretan Opini Intermezo

Yuri Muryanto Soedarno *).

Suatu ketika seorang teman mengajak makan siang di sebuah restoran ala luar negeri,  yang menunya saja kedengaran asing bagi telinga  saya.

Daftar menu itu hanya saya pandangi, dan menu pesanan saya cuma mengekor seperti apa yang dia pesan saja.

Ingatan saya melayang ke beberapa puluh tahun silam. Betapa masih ndesonya dia saat itu.

Sekarang justru sayalah yang level ndesonya jauh di bawah dia.
Dan kami memang asalnya adalah orang ndeso.

Hidup memang begitu, ada siang ada malam, ada hujan ada kemarau, ada tangis ada tawa, ada luar ada dalam, ada lahir ada batin. Begitulah. Makanya hadir keseimbangan untuk elastisitasnya.

Bolak balik ke luar negeri, barangkali membuat teman itu tidak lagi melihat remeh temeh fenomena lokal, sekalipun kearifan lokal itu masih sangat kuat dipegangnya.

Setelah menunggu. Sambil ngobrol masa lalu, hidangan pun datang.

Makan di suatu tempat di rimba beton, dengan suasana  mewah ditambah dengan adanya ajudan dan beberapa asistennya membuat suasana kikuk.

Apalagi dengan hidangan berlebihan menambah suasana terkesan seolah serakah.

Kira kira satu bulan setelah pertemuan makan siang di rimba beton itu. Saya diajak camping dengan beberapa teman yang lain, di suatu lembah di salah satu pulau terbesar di dunia, Kalimantan.

Kami lewati keindahan lembah, ngarai dan sungai bening yang bergemericik di antara rimba di hutan hujan basah (tropical rain forest) di jajaran gunung gemunung meratus.

Yuri berada di salah satu lembah Meratus

Bahagia rasanya diberikan kesempatan melihat langsung keaslian alam indah milikNya.

Siang itu, di tepi sungai jernih yang berbatu dengan nuansa kemewahan hutan alami tanpa lipstik. Kami masak dan makan dengan lahapnya, dengan menu lauk yang sangat sederhana, bahkan aneh bagi yang belum tahu.

Hutan hujan tropis di Meratus

Lauk itu dibawa oleh teman lama kami di pedalaman. Awalnya dia terkesan malu saat membawa bahan makanan itu ikut kami camping.

Namanya: mandai dan kalangkala.

Yang pertama itu adalah kulit cempedak, tahan disimpan berbulan-bulan. Yang ke dua itu buah yang nanti dipakai untuk teman saus sambal.

Mandai itu ganti lauk. Dalam hutan saat itu rasanya mirip daging. Dicocol ke cacapan yang dicampur buah kalangkala. Sempurna.

Mandai terbuat dari kulit cempedak | Foto: internet

Cacapan kalangkala itu berhasil menambah nafsu makan kami. Padahal ia cuma direndam dalam air hangat, kemudian diiris tipis dan dimasukkan dalam cacapan: adonan asam, lombok, bawang merah, gula, garam dan air.

Cacapan kalangkala | Foto: net

Saat mandai digoreng, sontak bau khas tercium, membuat rasa lapar semakin kuat.
Kami makan dengan lahap, sambil sesekali mencocol cacapan, yang dibuat teman kami.

Menu cacapan bukan suatu menu yang asing bagi masyarakat di daerah hulu sungai atau pedalaman di Kalimatan bagian selatan.

Sangat berbeda ketika makan di restoran mentereng pada rimba beton dengan hidangan berlebihan dengan latar kemewahan  polesan.

Ada sesuatu yang berbeda diantara keduanya. Walaupun terkadang, barangkali adalah hal yang wajar juga bila manusia ingin nuansa alami dan juga nuansa polesan.

Keberagaman dan variasi itu bisa jadi manusiawi.

Diantara alami dan polesan, siapa yang lebih elegant ?

Itu juga relatif, tergantung dari banyak faktor.

Barangkali ada yang beranggapan juga bahwa, sajian nasi dengan lauk mandai dan kalangkala dikatakan makanan kelas bawah, bila dibandingkan dengan hidangan restoran mewah.

Padahal bila direnungkan bisa jadi mandai dan kalangkala serta cacapan sudah mengajari untuk tidak serakah.

Tempat asal lauk dan dan saus tradisional yang punya harta berlimpah itu tidak sombong. Walaupun lembah di mana mandai dan kalangkala berasal sangat kaya akan harta.

Harta lembah itu bisa bahan baku semen, minyak bumi, emas, intan, perak, batubara, dan banyak lagi sumber daya alam yang lainnya.

Mandai, kalangkala dan cacapan walaupun berada pada tempat yang kaya dan penuh harta, tetapi sudah mengajarkan kita untuk menggunakan sewajarnya dengan bijak dan tidak tamak. Sajian sederhana mandai, kalangkala dan cacapan, ternyata membuat kami lahap.

... ‘ if there is one lesson in the past half century of economic development, it is that natural resources do not power economic human resources do ’ ... (Washington Post ; Edisi 28 April 2001).

... ‘jika terdapat satu pelajaran dari setengah abad perkembangan ekonomi, maka pelajaran tersebut adalah bahwa Sumber Daya Alam bukan kekuatan ekonomi, melainkan Sumber Daya Manusia.-

 *) Yuri akrab di sapa Ceppe atau Utuh Iyur. Alumni Adm Niaga FISIP ULM. Salah satu pelopor Mapala Fisipioneer. Kadang menulis tentang lingkungan, traveling, bisnis dan menyikapi fenomena sekitar.


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

1 komentar: