Kisah Suri Guru PTT di Tanbu, Rumah Reot, Gaji Hanya Buat Bertahan Hidup

Suri di rumahnya | Foto: Jurnal Banua
JURNALBANUA.COM, TANAH BUMBU - Ketika matahari di ufuk timur mulai menunjukkan sinarnya, Syamsuriana (36) berkendara dengan metik merah menuju PAUD Terpadu TK-KB Puspa Bangsa di Desa Sepunggur Kecamatan Kusan Hilir Tanah Bumbu.

Sudah belasan tahun ibu muda itu mengajar anak-anak desa. Dengan gaji pas-pasan. Maklum masih belum nasibnya jadi ASN (dulu disebut PNS).

Di masa pandemi, ia harus jauh lebih awal ke sekolah. Berkendaran sekitar 17 menit. Menembus dinginnya kabut persawahan, untuk menyiapkan peralatan daring mengajar.

“Pandemi, siswa TK belajar dari rumah saja, tapi kami guru tetap turun ke sekolah,” kata wanita yang akrab disapa Suri ini, Minggu (29/11) pagi tadi.

Ketika penulis menatap sekeliling rumah yang ia tempati bersama suaminya Syarifuddin, kediaman itu tidak dapat dikatakan layak huni.

Lantai dan dinding rumah mereka berlobang di mana-mana.

Bahkan jendela yang berfungsi sebagai tempat sirkulasi udara dan jalur sinar matahari yang masuk pun hanya terbuat dari potongan terpal kecil.

Jika hujan lebat disertai angin, percikan air masuk. Suaminya bekerja serabutan, sehari dapat sehari habis. Gaji Suri? Juga cukup buat ganjal perut.

Itu mengapa bertahun-tahun mereka tidak bisa memperbaiki rumah keluarga yang mereka tempati secara gratis itu. Masih banyak keperluan mendesak, dengan hanya mengandalkan honor PTT Rp1,5 juta belum potong pajak.

"Mau bagaimana lagi? Belum dapat rezeki lebih untuk mengganti papan lantai yang bolong,” ucap Suri.

Lalu, menyesalkah dia menjadi guru? Dengan tegas Suri menggeleng. Kecintaanya pada anak-anak sudah dari dulu.

Sebelum diangkat PTT dirinya mulai menjadi guru honor di salah satu TK di kota Pagatan, dengan gaji yang sangat minim, tepatnya di tahun 2007.

Baru di tahun 2016 dia pun di angkat menjadi PTT di PAUD tempatnya mengajar sekarang.

Suri bercerita, di zaman ia honor, biasanya ada tambahan penghasillan. Seperti uang makan. Sehari ada nilainya. "Kalau sekarang tidak ada lagi. Ya gaji yang ada aja," katanya.

Dia pun meminta, siapa saja nanti terpilih di 9 Desember agar memperhatian nasib guru PTT dan honor. "Kasian, Mas. Apalagi yang masih honor, tidak cukup mereka," lirihnya.

Sementara itu, sang suami Syarifuddin pun menyeletuk. Dia mengatakan kepada istrinya, jika ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik, harus memilih pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyatnya dan membangun SDM yang berakhlak. 

“Ada saya lihat, baru kampanye sudah menjelekkan pasangan calon bupati yang lain. Itu tidak benar. Pemimpin itu harus dapat mengayomi masyarakat dan memperhatikan rakyat kecil. Contoh Zairullah, pengayom masyarakat dan anak yatim. Dari dulu hingga sekarang, tidak ubah,” tegasnya kepada sang istri.

Habis berbicara itu, suami kembali turun ke tanah. Rupanya ia hanya naik mengambil peralatan, untuk kembali bekerja.

Tokoh masyarakat di Kusan Hilir, Haji Nurdin sebelumnya meminta agar pemimpin Tanbu nanti, memperhatikan kesejahteraan guru-guru di Bumi Bersujud. Khususnya guru-guru agama.

"Mereka itu pejuang. Tolong diperhatikan. Pejabat itu harus mendahulukan kepentingan orang banyak. Jangan mendahulukan kepentingan pribadi, apalagi memperkaya diri," tegasnya (saa/shd/jb)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar