Cerpen: Kisah Raja Saranjana Melawan Corona, Demi Rakyatnya

Ilustrasi foto: Jurnal Banua

Abdul Hamid, Raja Saranjana gusar bukan kepalang. Dia menerima laporan. Corona kemungkinan masuk ke wilayahnya. Ketika seorang warganya, baru-baru tadi masuk ke dunia manusia, ke Banjarmasin.

"Segera karantina dia rumah sakit. Kau tahu, walau kita dan manusia beda alam, tapi kita menghirup oksigen yang sama, susunan raga kita sama," gelegar Abdul Hamid kepada Panglima Sanusi.



Abdul Hamid menghempaskan pantatnya di singgasana. Ia ingat persis, ribuan tahun silam. Bersama rakyatnya, ia memutuskan masuk ke alam gaib, berpisah dari manusia. Ia sudah memperkirakan, dunia manusia akan rusak. Manusia membuat kerusakan di penjuru bumi.

***

Sanusi membawa tujuh pendekar andalan istana. Berkuda, melaju ke rumah Mahesa, seorang pemuda tampan yang diaporkan baru saja tiba dari Banjarmasin.

Debu beterbangan di kota Saranjana. Bendera istana membuat rakyat menyingkir. Azan Asar berkumandang di masjid-masjid kerajaan.

Tepat di ujung pulau. Di sebuah bukit kecil. Di situlah pondok Mahesa. Sanusi menerima laporan. Pemuda itu tinggal sendiri. Penulis buku.

Di depan pagar rumah, Sanusi tercengang. Begitu indah panorama di sana. Rumah mungil, bunga merah kuning di halaman. Di belakang cakrawala dan biru Laut Jawa bertemu Selat Makassar.



"Aku baru tahu ada tempat seindah ini," gumam Panglima.

Sanusi segera sadar tugasnya. Dengan keras menepuk pinggul kuda putihnya. Melesat peliharaan Panglima memasuki halaman rumah.

"Mahesa! Keluar! Ikut kami sekarang!"

Dua pendekar maju. Mereka menggunakan masker. Jubah merah menutupi seluruh tubuh. Hanya mata dan gagang pedang yang terlihat berkilau.

Tidak ada jawaban. Sunyi. Kecuali bunyi angin dan bau garam.

"Kami hitung sampai sepuluh! Tidak keluar, kami yang masuk! Dan terpaksa kekerasan!" gusar Panglima.

Sepuluh detik berlalu. Lima belas detik.



Panglima memberi isyarat. Tujuh pendekar mengepung rumah. Dua mendobrak pintu depan.

Dalam pondok, sesederhana tampilan luar. Hanya ada satu kamar. Di ruang tengah, seorang pemuda berbaju biru, sujud menghadap kiblat.

"Sial!" umpat Panglima. Ketegangan wajahnya mereda. Ia memberi isyarat. Para pendekar menunggu.

Mehesa duduk. Mengucapkan salam. Tidak berdoa. Berdiri dan membalikkan badan. Tersenyum.

Wajahnya cerah. Terlihat sehat. Hanya kelopak matanya, jelas kurang tidur. Selebihnya normal.

Tapi Panglima tahu persis, corona sering tidak memperlihatkan gejala pada orang yang punya daya tahan tubuh kuat. Bagaimana pun keselamatan rakyat baginya adalah hukum tertinggi.



"Maaf Mahesa, kau harus ikut kami sekarang. Kenakan masker. Kau harus kami isolasi. Nanti kami juga perlu keteranganmu, ketika kembali dari Banjarmasin dan masuk ke Saranjana, kau sudah bertemu siapa saja," tegas suara Panglima.

"Tapi saya sehat Panglima," lantang suara Mahesa. Dia tersenyum.

"Tidak bisa. Kau ODP sekarang. Harus kami pantau di ruang isolasi selama empat belas hari. Atau lebih. Tergantung. Kami kekurangan data. Ini kasus pertama. Jadi kami ikuti protokol manusia."

"Baiklah. Kalau harus isolasi. Maka saya harus membawa naskah saya yang belum selesai. Saya harus melanjutkannya."

***

Di ruang isolasi. Mahesa menjelaskan semuanya. Dia pergi dan pulang, tidak ada bersentuhan dengan satu orang pun rakyat Saranjana.

"Saya pulang subuh. Tidak ada berjaga di pintu gaib. Di jalan menuju rumah, saya bertemu Imam Masjid, tapi jarak kami jauh, sekitar 10 meter."

Mendengar itu Abdul Hamid lega. Tapi ia tidak mau mengambil risiko. Saranjana di-lockdown. Masjid dan gereja tutup. Hanya muazin boleh ke masjid. Semua ibadah di rumah saja.

Menteri Sosial dan Ekonomi, Wildan, ia perintahkan mendata setiap persediaan makanan di dapur rakyatnya. "Tidak boleh ada yang kelaparan," titah Raja.



Mahesa diminta membuat selebaran. Mengisahkan para sahabat Nabi di zaman Umar ketika ada wabah. Tulisan itu dicetak massal. Disebar ke rumah-rumah warga.

Tulisan itu mampu menghibur rakyat muslim di Saranjana. Mahesa diberi pelayanan prima. Semua makanan, vitamin, jaringan internet super cepat disediakan Raja untuknya.

***

Esok harinya. Semua berubah. Panglima memasukkan 100 orang ke dalam ruang isolasi. Ada yang terlihat sehat. Tapi banyak batuk-batuk dan demam.

Saranjana Post, satu-satunya media massa di kota gaib itu memberitakan. 125 Rakyat Saranjana Diduga Positif.

Di berita itu ditulis, kurang lebih dua minggu lalu, pasangan suami istri di Saranjana, Mulah dan Wida baru datang dari Jawa. Menjenguk anaknya yang kuliah di sana.

Mulah dan Wida punya jalur khusus menembus alam gaib. Tidak terdata oleh jaringan Panglima.

Bagi rakyat Saranjana sulit sekali menembus alam gaib. Tapi beberapa orang, mampu melakukannya dengan mudah.

Kota yang sejak lama enggan menerapkan teknologi berbasis BBM tidak terbarukan itu mendadak mencekam. Abdul Hamid menangis diam-diam sendiri. Terasa sia-sia perjuangannya ribuan tahun lalu memisahkan diri dari manusia.



Sejak dulu Abdul Hamid tahu, rakyatnya ada yang suka ke luar masuk ke dunia manusia. Bahkan ada yang menikah. Ada yang sekolah. Tapi ia biarkan, selama tidak merusak tatanan kehidupan di Saranjana: bebas polusi.

Sekarang bukan polusi lagi, tapi wabah virus hasil kesalahan manusia yang masuk ke dunianya.

***

"Sekarang wabah sepertinya masuk ke kota kami. Maafkan aku. Dengan ini semua, kita tunda dulu."

Mahesa berbicara melalui layanan video WhatsApp dengan seorang perempuan bercadar. Di layar HP nya, Mahesa bisa melihat jelas mata perempuan itu basah.

Alexa, gadis di Banjarmasin. Yang ia temui beberapa hari lalu. Mereka berdua berjanji menikah. Dan tinggal di Saranjana.

Susah payah dua sejoli itu mengatur pertemuan. Saat Banjarmasin sudah sepi. Mahesa tidak ingin bertemu satu orang pun warga. Dia begitu mencintai Saranjana.

Mahesa yakin, tidak ada virus ia bawa. Tapi sekarang berubah. Saranjana tidak aman lagi.

"Kapan kira-kira ini berakhir," tanya Alexa.

"Belum tahu. Tapi aku percaya dengan Rajaku. Dia bijaksana. Semua tindakannya terukur."

***

Esok harinya dan esok harinya. Esok harinya lagi. Korban mulai berguguran.

Abdul Hamid hampir tidak tidur. Hanya dia dan petugas-petugas kerajaan yang boleh ke luar rumah. Itu pun hanya membagi bahan makanan dari gudang ke rumah-rumah rakyat.



Korban yang meninggal dimakamkan sendiri oleh petugas kerajaan. Jika azan berkumandang, seorang muazin menangis, muazin yang lain ikut menangis.

Masa karantina berlalu. Mahesa sehat, tidak ada corona di paru-parunya. Tapi, seperti yang lain, ia pun tidak boleh ke luar rumah.

Abdul Hamid tidak pernah memprediksi ini akan terjadi. Persediaan di gudang menipis cepat. Sang Raja sudah tidak makan nasi selama empat hari. Ia mengutamakan rakyatnya.

"Persediaan makanan untuk rakyat tinggal seminggu." Laporan Panglima.

***

Pagi-pagi buta, Abdul Hamid membawa berkantung-kantung emas. Truk berwarna kuning, penuh kantung. Itu satu-satunya truk di Saranjana.

Malam hari sebelumnya, Hamid sudah mengontak beberapa pejabat tinggi di dunia manusia. Ia akan menemui mereka hari ini.

Sendiri Raja itu berangkat. Menembus pintu gaib. Truk ia sopiri sendiri. Badannya lemah.

Sreet. Sekejapan mata. Abdul Hamid tiba di Jakarta. Sepi. Tidak ada macet. Di pamflet raksasa ia melihat tulisan Mahesa.



"Itulah gunanya penulis. Saranjana beruntung punya Mahesa," gumam Hamid.

Melaju ia dengan truk kuning. Ke sebuah bank. Hamid sudah janji dengan Dirut Bank itu. Semua proses penghitungan batang emas selesai cepat. Uangnya dimasukkan ke rekening bernama Saranjana.

Semua uang dibelikan bahan makanan.  Ribuan armada mengangkut sembako. Iringan itu dipimpin sendiri oleh Hamid.

Sepanjang jalan Hamid berperang dengan batinnya. Air matanya berkali-kali tumpah. Ia melihat, di kota-kota manusia, tukang ojek kurus kering. Tukang becak tertidur menunggu penumpang. Penjual makanan memakan sendiri jualannya.

Ingin rasanya ia berlari, membagi beras. Kue, roti dan air mineral. Tapi wajah-wajah rakyatnya di Saranjana mencegah kakinya menginjak pedal rem.

Di pelabuhan kapal Surabaya ke Kalimantan. Hamid terpaksa berdesakan dengan ratusan manusia. Ribuan truk sembakonya tidak bisa masuk pintu gaib di sana. Harus lewat pintu di Pulau Kalimantan.

Hari berganti, tubuh Sang Raja semakin lemah. Ia mulai batuk.

Ribuan truk itu akhirnya tiba di sebuah hutan Kalimantan. Hamid memberi amplop satu orang satu ke para sopir. Truk ditinggal. Rupanya bukan hanya sembako ia beli, tapi truknya juga.

Satu-satu truk itu ia bawa. Ke gudang di Saranjana. Semua petugas kerajaan ia larang membantu. Batuk Sang Raja semakin parah.

***

Dua hari, selesai sudah. Semua truk sembako berhasil masuk gudang. Panglima dan para pendekar kerajaan menyemprot semua truk dengan disinfektan.

Raja semakin buruk kesehatannya. Ia diisolasi. Walau semua dokter berupaya, kesehatannya semakin turun.

***

Mahesa. Sembako yang saya beli dengan uang rakyat kita itu, cukup untuk lima tahun ke depan. Jika wabah ini berakhir. Kau tulislah kisah kota kita.

Ingatkan semua, berlebihan mengejar dunia, melanggar aturan Tuhan itulah kiamat sesungguhnya.

Ketika semua ini berakhir. Ingatlah. Menikahlah di Saranjana. Undang semua rakyatku. Makan dan minum yang sehat. Semua biaya kerajaan yang tanggung.

Teruslah menulis Mahesa.

Penuh Cinta
Abdul Hamid

Malam hari Mahesa menerima surat itu, kesokan harinya Abdul Hamid mangkat.

Penduduk menangis di rumah. Perintah Raja jelas. Jangan ada yang mengantarnya ke tempat terakhir. Raja ingin dikuburkan massal bersama rakyatnya yang lebih dulu tewas karena corona.

Abdul Hamid telah pergi. Muazin tercekik lehernya, tak kuasa menyebut nama raja di masjid-masjid.

Diam-diam Mahesa berjanji. Akan ia tulis. Perjuangan Abdul Hamid. Akan ia sebarkan kisahnya bahkan ke dunia manusia. Bahwa di Saranjana ada pemimpin yang rela berkorban untuk rakyatnya, tanpa menimbang untung rugi diri sendiri. (*)

Kalsel 4 Maret 2020
* Penulis: Mahesa Chandrakumara
Hak cipta: jurnalbanua.com



Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

1 komentar:

  1. Luar biasa cerpen ini, menggugah inspirasi tentang tanggung jawab seorang pemimpin kepada rakyatnya diatas segalanya, nyawa sekalipun siap diberikannya. Karena ini hanya fiksi, saya juga bisa memahami kalau di alam sebelah/bangsa jin bisa mati atau kembali kehadirat Allah Yang Maha Suci. He...he...he, teruslah berkarya untuk berbagi rasa yang memperkaya hati sanubari. Salam.

    BalasHapus