Abdul Hamid, raja Saranjana, gusar bukan kepalang. Dia menerima laporan: virus korona kemungkinan telah mencemari udara kerajaan gaibnya ketika seorang warganya menjejak dunia manusia.
Mahesa si penulis kabarnya telah pergi ke Banjarmasin beberapa hari lalu — diam-diam.
“Tangkap dan karantina! Walau kita dan manusia beda alam, kita menghirup oksigen yang sama; susunan raga kita sama,” gelegar Abdul Hamid kepada Panglima Sanusi.
Abdul Hamid menghempaskan dirinya di singgasana. Ia melihat kembali peta waktu — ribuan tahun lalu keluarga kecil leluhurnya mengasingkan diri ke selatan Pulau Laut, menutup diri dalam pagar halimunan. Mereka menarik diri dari pertikaian kekuasaan, siapa yang paling berhak mengelola perut bumi Pulau Laut. Kini keluarga kecil itu berkembang biak, membangun kerajaan dan kota tanpa bahan bakar minyak, tanpa polusi. Tapi siapa sangka, virus kecil korona bisa menembus dinding-dinding purba mereka; mengancam keselamatan rakyatnya.
***
Sanusi membawa tujuh pendekar andalan istana. Berkuda, mereka melaju ke rumah Mahesa.
Debu beterbangan di kota Saranjana. Bendera istana membuat rakyat menyingkir. Azan Ashar berkumandang di masjid-masjid kerajaan.
Tepat di ujung pulau, di sebuah bukit kecil, pondok Mahesa terlihat menyepi.
Di depan pagar, Panglima terdiam. Panorama di sana sejenak meredam geramnya: rumah mungil, bunga merah-kuning di halaman; di belakang, cakrawala biru — Laut Jawa bertemu Selat Makassar.
“Di sini ternyata lebih indah,” gumam Panglima, lalu menepuk pinggul kudanya. Peliharaan itu melesat memasuki halaman.
“Mahesa! Keluar! Ikut kami sekarang!” serunya.
Dua pendekar maju, masker menutupi wajah mereka. Jubah merah melayang; mata dan gagang pedang mereka berkilau — seperti nyala di ujung cakrawala yang mengabarkan badai akan segera datang.
Tapi hanya sunyi yang menjawab, bercampur angin dan bau garam.
“Kami hitung sampai sepuluh. Tidak keluar, kami yang masuk! Dan... terpaksa—kekerasan!” kata Panglima, suaranya keras, mengalahkan deru ombak yang menampar tebing.
Sepuluh. Lima belas. Isyarat dari Panglima; tujuh pendekar mengepung, dua mendobrak pintu.
Di dalam pondok — sesederhana tampilan luarnya — hanya ada meja komputer, satu kursi, dan dinding yang penuh jejeran buku. Di ruang tengah, seorang pemuda berbaju biru sedang sujud ke arah barat. Panglima mengumpat pendek, lalu menenangkannya sendiri; memberi isyarat agar para pendekar menunggu.
Sembari menanti, Panglima menata kembali alur napasnya. Sejak dari gerbang istana ia memang tegang. Ia marah besar, merasa kecolongan. Tidak pernah menyangka pemuda kurus yang terlihat lemah itu ternyata menguasai ilmu langka: membuka gerbang gaib.
Di depannya, Mahesa tampak menyelesaikan salatnya, mengucap salam pendek, berdiri, dan membalikkan badan. Tersenyum ke arah Panglima. Wajahnya cerah; hanya matanya yang tampak lain — kurang tidur. Mahesa mengusap tangannya ke bajunya, sebuah gerak kecil yang menyadarkan Panglima bahwa pedang yang ia bawa nampak berlebihan.
Tapi seseorang yang dapat membuat pintu gaib tidak bisa dianggap enteng. Tambah lagi, Mahesa baru datang dari dunia manusia. Panglima tidak mau ambil risiko. Pedang itu ia pegang lagi.
“Maaf, Mahesa. Kau harus ikut kami sekarang. Kenakan masker. Kau harus kami isolasi. Nanti kami juga perlu keteranganmu: ketika kembali dari Banjarmasin dan masuk ke Saranjana, siapa saja yang sudah kau temui,” tegasnya sambil menyodorkan masker.
Mahesa menatap masker itu, menimbang sebentar. “Tapi saya sehat, Panglima,” katanya tenang.
“Tidak bisa. Kau ODP sekarang. Harus kami pantau di ruang isolasi minimal empat belas hari — atau lebih, tergantung. Ini kasus pertama. Kita harus ikut protokol manusia,” jawab Panglima.
Mahesa mengangguk. “Baiklah. Kalau harus isolasi, izinkan saya membawa naskah saya. Saya—” ia terhenti sesaat, memandang ke luar jendela — “harus menyelesaikannya.”
Di ruang isolasi, Mahesa duduk di samping tempat tidur kecil. Ia memegang naskah, tetapi pikirannya berkelana. Sebelum kedatangan Panglima, ia sempat gamang: melangkah kembali ke Banjarmasin, menetap di sana sampai wabah reda? Atau tetap di sini, menunggu arah takdir ke mana akan berjalan?
Ia teringat percakapan terakhir mereka di tepi sungai Banjarmasin, ketika Alexa tertawa lalu menutup bibirnya dengan ujung kerudung; mata mereka bertaut mesra seperti kepak camar di bibir gelombang: lembut. Ia ingin menikah. Ingin membawa Alexa ke Saranjana. Tapi wabah bagai malam pancaroba, tidak dapat ditebak. Risikonya terlalu besar.
Di sana, dalam sunyi sel tahanannya, pada buku hariannya Mahesa menulis: “Aku tak ingin seperti nelayan tua meninggalkan keluarganya dengan biduk kecil menerjang badai, demi mengejar seekor ikan yang terus datang dalam mimpinya...”
Ia menyobek kertas berisi kalimat itu, lalu menulis lagi. Hanya itu yang ia bisa lakukan untuk menyimpan rindu dalam naskah. Sedari awal ia sudah memilih — menahan pertemuan demi keselamatan.
Ketika petugas datang meminta kesaksiannya, Mahesa memberi keterangan lengkap: “Saya pulang subuh. Di jalan, saya bertemu imam masjid; jarak kami sekitar sepuluh meter. Tidak ada bersentuhan.” Ia menuturkan dengan detail pertemuannya dengan Alexa; keputusannya menunda pernikahan menjadi alasan paling kuat akan kejujuran ceritanya.
Abdul Hamid, mendengar itu, lega. Tapi ia tetap menutup rapat. Ia memerintahkan: Saranjana di-lockdown. Masjid dan gereja ditutup; hanya muazin yang boleh ke masjid. Semua ibadah dilaksanakan di rumah masing-masing.
Wildan, bendahara kerajaan yang nyaris tidak pernah terlihat tanpa kacamata, diperintahkan mencatat persediaan di dapur rakyat. “Tidak boleh ada yang kelaparan,” titah Raja.
Mahesa diminta membuat selebaran — kisah para sahabat Nabi pada zaman Umar ketika ada wabah. Tulisan itu dicetak massal, disebar ke rumah-rumah warga, menenangkan yang gentar.
Raja juga mengatur layanan: makanan, vitamin, dan jaringan internet supercepat disediakan untuk Mahesa. Raja meminta Mahesa mengirim semua naskah tulisannya ke media massa di dunia.
***
Secepat kilat kabar buruk datang. Esok harinya, seratus orang masuk ruang isolasi. Beberapa batuk, yang lain demam.
Saranjana Post menulis: 125 Rakyat Saranjana Diduga Positif. Dalam laporan itu disebut dua minggu yang lalu Mulah dan Wida pulang dari Jawa untuk menjenguk anak mereka. Mereka punya “jalur khusus” — sebuah ritual atau jalan yang dapat membuka pintu gaib tanpa terekam jaringan Panglima.
Aturan pintu gaib: ia bukan sekadar celah. Ada waktu dan ritus — jam tertentu ketika alam berjajar, dan hanya beberapa orang yang dapat melintasinya. Beberapa keluarga mewariskan pengetahuan itu turun-temurun. Kini ilmu langka itu menjadi kambing hitam. Semua keluarga yang dianggap mengetahui celah itu ditangkap dan dikarantina.
Kota yang selama ini menolak teknologi berbasis bahan bakar tidak terbarukan kini mencekam oleh ketakutan lain. Abdul Hamid tertunduk; ribuan tahun upaya menjauh dari kerusakan manusia tiba-tiba terasa rapuh.
Melalui layar, Mahesa berbicara dengan Alexa. Matanya tampak basah. “Maafkan aku. Kita tunda dulu,” suara Mahesa pecah.
Alexa menahan tangis. “Kapan kira-kira ini berakhir?” suaranya gemetar.
“Belum tahu,”
“Tapi aku percaya pada Rajaku,” suara Mahesa merinai, seperti menahan harapan dengan kepasrahan.
Korban berjatuhan. Abdul Hamid hampir tidak tidur. Hanya dia dan petugas kerajaan yang boleh keluar — untuk membagi makanan dari gudang ke rumah-rumah.
Makam-makam dibuat cepat; petugas memakamkan jenazah-jenazah tanpa iring-iringan ramai. Ketika azan berkumandang, seorang muazin menangis; muazin lain yang mendengar tercekat tenggorokannya.
Hari-hari Saranjana berlalu dalam kemuraman. Tidak ada lagi anak-anak berlari riang di tepi pantai sembari beradu layang-layang warna-warni. Tidak ada lagi panggung musik di alun-alun kota. Bioskop yang selalu penuh akhir pekan kini sunyi; di lorongnya tikus-tikus berlarian, tidak mengerti mengapa kota gemerlap dengan seni dan tawa kini nelangsa.
Dalam ketakutan, waktu terasa begitu lambat berlalu. Masa karantina Mahesa empat belas hari terasa berbulan-bulan. Mahesa sehat — tak ada korona di paru-parunya — namun ia tetap terkurung bersama naskah dan rindunya.
Sementara itu di kerajaan, waktu akhirnya menelan semua sumber daya. Persediaan menipis. “Makanan untuk rakyat tinggal seminggu,” laporan Panglima terdengar seperti dentang jam dari ruang kosong.
***
Pagi-pagi buta, Abdul Hamid memutuskan bertindak. Ia membawa berkantung-kantung emas dan mengendarai truk kuning — satu-satunya truk kerajaan yang dipakai untuk melintasi pintu gaib. Hari itu ia pergi sendiri ke dunia manusia.
Sret! Sekejap mata ia tiba di Jakarta. Ibu kota lengang! Tidak ada macet seperti biasanya. Di sebuah sudut kota ia melihat kutipan raksasa: “Biarkanlah sejenak bumi beristirahat...”
Ia tersenyum; itu salah satu kutipan yang juga ia pasang di depan gerbang kerajaan — kutipan dari salah satu artikel Mahesa.
Hamid menuju sebuah bank, menukar semua emas dengan rupiah. Kemudian berbelanja habis-habisan: beras, gandum, dan seterusnya. Ratusan truk makanan siap meninggalkan Jakarta menuju Saranjana. Karena truk itu banyak sekali, Hamid tidak bisa membawa semuanya langsung ke Saranjana. Pintu gaib utama ada di pedalaman Kalimantan. Truk Hamid di depan, mengomandoi karnaval sembako ke pelabuhan Tanjung Priok. Kapal-kapal ia sewa sampai semua truk terangkut.
Di pelabuhan, ia berdiri di antara manusia yang lesu — tukang ojek kurus, pengemudi becak yang tertidur — melihat mereka, hatinya berkeping-keping. Ia ingin berlari membagikan roti-roti sederhana, tapi wajah-wajah rakyatnya membatasi geraknya.
Sampai di Banjarmasin, Hamid memimpin konvoi itu naik ke Banjarbaru. Lalu membelah pegunungan Meratus. Di sebuah hutan yang memiliki lapangan besar, Hamid menghentikan barisan. Ia memberi semua sopir amplop berisi uang, lalu meminta mereka semua pulang. “Truk kalian sudah kubeli. Sekarang pulanglah,” ujar Hamid, mulutnya terkatup keras, menahan batuk. Ia menolak uluran tangan para sopir.
Sopir-sopir itu meninggalkan hutan, berjalan kaki. Langkah mereka ringan, merasakan tebalnya amplop dari Hamid. Tapi beberapa penasaran karena mereka tidak melihat ada orang lain di hutan itu. Ketika mereka berbalik ingin melihat apa yang dilakukan Hamid, ratusan truk itu sudah tidak terlihat — hilang bagai ditelan malam, hanya rapat pepohan yang tertinggal.
Satu per satu truk itu dibawa Hamid ke Saranjana. Ia melarang satu orang pun membantunya. Lima hari, semua truk sudah masuk ke dalam gudang. Sementara Hamid, tubuhnya terus melemah; batuknya semakin hebat. Ia mengarantinakan diri di sudut belakang kerajaan. Dokter-dokter berjaga; kesehatannya terus menurun.
Sebelum napasnya semakin sulit, Hamid menulis sebuah surat singkat kepada Mahesa.
Mahesa,
Sembako yang saya beli dengan uang rakyat cukup untuk beberapa tahun. Jika wabah berakhir, kau tulislah kota kita. Jadikan nama-nama kami sebagai kenang-kenangan — sebagai lonceng pengingat.
Kalau semua ini reda, menikahlah di Saranjana. Undang rakyat yang masih hidup. Makanlah bersama, sederhana. Biarlah yang tersisa dari kerajaan ini menjadi kehangatan.
Teruslah menulis.
A. H.
Malam hari Mahesa menerima surat itu; keesokan harinya Abdul Hamid mangkat.
Penduduk menangis di rumah. Perintah Raja tegas: jangan ada yang mengantar jenazah ke tempat terakhir; Raja ingin dikuburkan bersama rakyatnya yang telah pergi.
Muazin-muazin menangis di masjid-masjid. Suara-suara itu menempel di dinding rumah-rumah.
Kalsel, 4 Maret 2020
Penulis: Zalyan Shodiqin Abdi