Jeritan Harga Petani Sawit di Kotabaru

Slamet memanen sawitnya. Ia mengeluh harga sekarang terjun bebas

Keringat Menetes Seperti Jatuh ke Padang Pasir


Keringat menitik deras. Slamet pria berusia 61 tahun itu tengah hari memanen sawit. Dihantam panas matahari, dompetnya pun megap-megap karena harga sawit terjun bebas ke jurang.

JURNALBANUA.COM - Kelumpang Hilir

Jumat (7/9) siang kemarin, pria tua memakai topi bundar. Berbaju batik ungu, celana olahraga hitam. Grasak-grusuk di tengan rimbun dedaunan sawit.

Di perbatasan Desa Serongga dan Desa Mandala Kecamatan Kelumpang Hilir. Slamet asyik sendiri memanen kelapa sawit.

Buah-buah berwarna kuning kecoklatan itu dia potong tandannya. Diangkut memakai gerobak dorong satu ban. Kemudian dinaikkan ke atas bak belakang pikap warna putih.

Keringat sebesar biji jagung menitik deras. Kepada penulis, Slamet mengaku sudah berusia 61 tahun. Dia hanya tinggal bersama istrinya tidak jauh dari sana. Anak semata wayangnya sudah berkeluarga, tidak tinggal bersamanya lagi.

Menanam sawit kata Slamet adalah pilihan realistis bertahun-tahun lalu. Semua warga di desa berbondong-bondong menanam buah penghasil minyak itu.

Bukan tanpa alasan. Jutaan rupiah bisa diraup kala itu hanya dari satu hektare sawit. Dengan perawatan yang tidak sesulit tanaman sayur, warga pun berlomba menanamnya. Pekarangan yang dulu penuh sayur sekarang penuh sawit.

Waktu kenanng Slamet harga buah sawit bisa tembus Rp2.000 per kilogram. Kalau satu hektare sekali panen satu ton, maka petani meraup Rp2 juta. Sebulan rata-rata dua kali panen.

Itu dulu, beberapa tahun yang lalu. Sekarang? Slamet menjerit. Lelah keringatnya seperti jatuh ke padang pasir. Harga sekarang sekitar Rp700 rupiah per kilogram.

"Rugi sekali kalau begini terus," keluhnya.

Mengapa demikian murah? Kata Slamet, begitulah harga yang dipatok pengepul. Tidak bisa nego petani. Lambat sedikit masuk pabrik, harganya jatuh lagi. Sawit tidak bisa disimpan lama, kandungan minyaknya akan berkurang. Harus cepat diolah.

Kenapa tidak jual ke pabrik saja langsung? Tidak tahu caranya kata Slamet. Dia ambil cara paling ringkas saja. Jual ke tengkulak terdekat. Panen, langsung dibeli.

Namun pria yang terlihat kuat di usia senjanya itu, berharap ada perubahan. Bagaimana caranya dia tidak tahu. Yang penting harga bisa normal, wajar, seperti tingginya permintaan ekspor minyak sawit mentah.

Imam salah satu pengusaha kelapa sawit yang sudah berpengalaman mengatakan. Harga rendah bukan salah pengepul. Tapi pabrik yang mematok harga di bawah Rp1.000 per kilogram.

"Tidak tahu juga. Makanya pengepul juga beli murah. Pabrik murah soalnya membeli," ujarnya.

Dia sepakat ada peran pemerintah agar sawit di tingkat petani lokal bisa kembali normal. Harga dolar kata dia naik, mestinya komoditas sawit naik. Karena minyak sawit banyak yang diekspor ke luar negeri.

Kondisi ini membuat petani sawit pemula kebat-kebit. "Tidak ada cara lain. Kita harus mandiri. Bikin pabrik sendiri. Susah kalu seperti ini terus," ujar Edy juga salah satu pengusaha sawit. (Radar Banjarmasin)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

1 komentar:

  1. Iya saya juga merasakan hal yang sama, harus ada peran pemerintah,karena dinas perkebunan juga turut andil dalam penanaman kelapa sawit,dan menyarankan agar tanam kelapa sawit,kini tiba masa panen,kami harusnya jangan di tinggal sendiri,apa lagi waktu panen raya tiba, kapasitas pabrik over load, sawit petani lokal tidak laku

    BalasHapus