Kisah Mardani Perintahkan Lakasi ke Anak Buahnya, Didakwa Terima Gratifikasi Rp118 M

Mardani Maming saat mengenakan rompi tahanan KPK
Sidang perdana Mardani Maming menghadirkan banyak informasi menarik. Mulai dari jam miliaran rupiah Richard Mille, sampai perintah lakasi ke anak buahnya.

JURNALBANUA.COM, BANJARMASIN - Jika sebelumnya kita mendengar dugaan gratifikasi yang diterima Mardani Maming senilai Rp104,3 miliar, maka dalam persidangan di PN Tipikor Banjarmasin, jaksa memperbarui data itu menjadi Rp118 miliar.

Tak cukup di sana, dalam sidang yang digelar Kamis (10/11/2022), jaksa juga mendakwa Mardani menerima gratifikasi tiga jam tangan mewah, Richard Mille.

Bagaimana sebenarnya konstruksi kasus yang menjerat mantan bupati Tanah Bumbu dua periode ini? Dalam sidang, jaksa menjelaskan dengan gamblang saat membacakan berkas dakwaan.

Jaksa mengungkapkan, terdakwa Mardani Maming sebelum jadi bupati di Tanah Bumbu adalah pemilik CV Bina Usaha. Perusahaan keluarga yang bergerak di bisnis batu bara.

Perusahaan kemudian melebarkan sayapnya menjadi PT Batulicin Enam Sembilan. Tapi masih merupakan perusahaan keluarga, karena kepengurusannya diisi orang-orang terdekat Mardani.

Tahun 2010, ketika Mardani menjadi bupati, seorang pengusaha asal Jakarta Henry Soetio tertarik membuka usaha di Tanah Bumbu. Dia kepincut menambang di Kecamatan Angsana.

Tapi di lokasi yang ingin dieksplorasi sudah dipunyai PT BKPL, milik pengusaha Andi Suteja. Melalui perantara Suroso Hadi Cahyo dan Idham Chalid, Henry melakukan negosiasi dengan Suteja.

Pertemuan para pengusaha itu terjadi di Hotel Bidakara, Jakarta.

Hasilnya, Henry boleh ambil alih lahan tambang Suteja dengan kompensasi Rp40 miliar.

"Atas kesepakatan tersebut, Henry Soetio (Alm) telah melakukan pembayaran kepada Suroso Hadi Cahyo sebesar Rp5 miliar dan kepada Andi Suteja sebesar Rp25 miliar sehingga total pembayaran yang telah dilakukan sejumlah Rp30 miliar," ujar Jaksa KPK Muh Asri Irwan.

Beres dengan pemilik BKPL, Henry lanjut melobi Mardani. Menyampaikan keinginannya agar izin BKPL dialihkan ke perusahaannya PT PCN. Juga minta dibantu mengurus pelabuhan batu bara di Angsana.

Lobi-lobi itu berjalan mulus. Mardani menyanggupi memberikan bantuan. Untuk alih izin tambang akan diurus anak buahnya, Kadistamben Raden Dwidjono.

Untuk urusan pelabuhan, akan dibereskan orang-orang terdekat Mardani.

Di sinilah awal mula dugaan Mardani menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan kekayaan. Sebab bantuannya ke Henry nyatanya ada embel-embel.

"Sebagai imbalannya, Henry Soetio diminta untuk menyerahkan fee kepada terdakwa (Mardani Maming), pada saat penambangan PT PCN sudah berproduksi atau beroperasi," tutur jaksa.

Lanjut Jaksa, pada 21 Februari 2011, Henry mendirikan pelabuhan batu bara bernama PT ATU. Atasan usulan Mardani Maming, posisi komisaris utama diisi oleh adiknya Rois Sunandar, pamannya Muhammad Bahrudin sebagai komisaris, dan pegawai PT Batulicin Enam Sembilan Wawan Surya sebagai direktur.

Mardani kemudian meneken SK izin lokasi untuk PT ATU pada 8 April 2011. Lokasi pelabuhan ini berada di Kecamatan Sungai Loban, seluas 39,5 hektare.

Tidak lama kemudian, Raden Dwidjono yang saat itu berada di Jakarta urusan dinas, ditelepon Mardani Maming. Raden diminta datang ke Hotel Kempinski.

Sampai di hotel, Mardani mengenalkan Raden ke Henry. Dan meminta bawahannya itu membantu si pengusaha tambang untuk proses peralihan izin tambang PT BKPL ke PT PCN.

"Kemudian terdakwa menyerahkan surat permohonan PT PCN perihal Pengalihan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN, dan menyampaikan agar Raden Dwidjono segera memproses surat permohonan tersebut," ucap jaksa.

Sampai di Tanah Bumbu, Raden menggelar rapat soal permintaan peralihan izin itu. Ternyata, itu tidak diperkenankan. Karena melanggar pasal 93 ayat (1) UU 4/2009 tentang Minerba yang menyebutkan: "Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain."

Raden bersama Kasi Penyiapan Wilayah dan Tata Lingkungan Buyung Rawando Dani lalu berangkat ke Jakarta. Menemui Kabag Hukum Ditjen Minerba, Fadli Ibrahim. Hasilnya sama saja, peralihan izin tambang begitu tidak boleh.

Raden lalu menyampaikan hasil tersebut kepada Mardani. Tapi sang bupati termuda saat itu, ngotot ingin peralihan izin tersebut diproses. Mardani bahkan membujuk bawahannya untuk tidak khawatir.

Jaksa pun membacakan dialog antara Mardani dan Raden.

"Sudahlah Pak Dwi, diproses saja. Karena pemberian perizinan dari pemerintah kepada pihak swasta merupakan suatu kebijakan. Sehingga bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku itu ranahnya tata usaha negara. Yang mana itu Pak Dwi, kalau terjadi kesalahan, paling fatal paling hanya pencabutan terhadap perizinan yang kita terbitkan."

Raden lalu menjawab: "Nggeh, Pak".

Tapi selang seminggu kemudian, peralihan izin tersebut rupanya tidak juga diproses Raden. Mardani lalu memanggil Buyung. Dengan nada tinggi dia meminta peralihan izin itu harus cepat diproses.

Kata jaksa, Mardani ketika itu mengeluarkan kalimat perintah kepada Buyung: "Padahkan lawan (bahasa Banjar: kasih tahu sama) Pak Dwi, yang permohonan pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN lakasi (cepati)!".

Raden lalu memproses peralihan perizinan tersebut. Walaupun surat permohonan PT PCN masih belum memiliki Amdal, laporan eksplorasi dan studi kelayakan.

Pada 12 Mei 2011, Raden Dwidjono menekan surat rekomendasi perihal rancangan keputusan bupati tentang persetujuan pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN.

Tiga hari setelahnya, Raden Dwidjono menandatangani Surat Rekomendasi Kepala Dinas Pertambangan Nomor: 545/662/PU/Tamben tentang Persetujuan Rancangan Keputusan Bupati, dan memparaf Draf Surat Keputusan Bupati tentang Persetujuan Pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN.

Juni 2011, Raden Dwidjono menyerahkan Draf Surat Keputusan Bupati tentang Persetujuan Pelimpahan IUP OP tersebut kepada Mardani Maming di rumahnya untuk ditandatangani.

Surat itu kata jaksa, langsung diteken Mardani walau belum ada paraf dari Sekda, Asisten II dan Kabag Hukum.

Surat tersebut kemudian diberi nomor 296 tahun 2011. Juga dibubuhkan tanggal mundur jadi 16 Mei 2011.

Bereslah sudah peralihan izin tambang sesuai permintaan Henry. Maka kemudian, pada 2 April 2012, PT PCN masuk dalam akta kepengurusan PT ATU. Sebagai pemilik saham 70 persen, dan Henry sebagai direkturnya.

Juli 2013, atas dibentuk dua perusahaan PT TSP dan PT PAR. Keduanya diisi oleh keluarga dan orang-orang dekat Mardani Maming.

Dua perusahaan ini kata jaksa, dimanfaatkan Mardani untuk menerima gratifikasi atau suap dari Henry.

Bagaimana caranya?

Tahun 2014, tambang PT PCN akhirnya beroperasi. Saat itulah, tepatnya 28 Februari 2014, atas permintaan Mardani, akta PT ATU kembali diubah.

Dalam perubahan akta itu, masuklah PT TSP yang seolah-olah memiliki saham sebesar 30 persen di PT ATU.

"Alasan masuknya PT TSP dalam kepemilikan saham di PT ATU agar Henry Soetio dapat memberikan fee kepada terdakwa melalui PT TSP dalam bentuk dividen (bagi hasil)," ucap jaksa.

Jaksa menyebut Mardani menerima fee dari Henry lewat PT ATU. Juga melalui perantara Rois Sunandar dan Muhammad Aliansyah. Fee ini terjadi sejak 

Kemudian lanjut jaksa, Mardani merekayasa pemberian, dengan cara dibuat seolah-olah menjadi hasil untung kegiatan. Dalam isi perjanjiannya, PT TSP bakal mendapatkan keuntungan sebesar Rp10 ribu per metrik ton setiap bulan dari PT ATU hingga selesai kontrak pada 31 Desember 2015.

Pada 2016, jaksa menyebut Maming kembali menyiasati cara penerimaan fee selanjutnya dengan cara mengubah jenis usaha PT PAR yang semula usaha non-fasilitas menjadi usaha khusus.

"Tanggal 1 Januari 2016 dibuat perjanjian seolah-olah ada pembagian keuntungan atas jasa kegiatan penunjang usaha pelabuhan PT PCN, antara PT PCN dengan PT PAR yang ditandatangani Henry Soetio selaku Direktur PT PCN dan Wawan Surya selaku Direktur PT PAR, yang isi perjanjiannya PT PCN akan memberi fee kepada PT PAR sebesar Rp10 ribu per metrik ton setiap bulannya," kata dia.

Dalam kasus ini JPU KPK mendakwa Mardani menerima Rp118,7 miliar. Uang itu diterima dari 20 Maret 2014 - 17 September 2022. Berikut tiga jam tangan Richard Mille seharga miliaran rupiah.

Atas perbuatannya itu, jaksa mendakwa Mardani Maming dengan Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 18, soal gratifikasi. Ancaman penjara maksimal 20 tahun penjara.

Usai sidang, Ketua Tim Penasihat Hukum terdakwa, Abdul Qodir menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi. “Kami menilai tidak perlu membuat eksepsi. Kami ingin cepat saja ke pembuktian pemeriksaan saksi,” ujarnya.

Karena tidak ada eksepsi, maka Kamis (17/11/2022) pekan depan agendanya berlanjut ke pemeriksaan saksi-saksi. (shd/jb)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar