Misteri Pemeriksaan Mardani di KPK Terkuak: Dugaan Korupsi Tambang di Tanah Bumbu

Mardani H Maming saat dirubung wartawan di Gedung KPK, Kamis (2/6/2022) malam
Misteri pemeriksaan KPK terhadap Mardani H Maming mulai terkuak. Dari surat KPK terungkap, pemeriksaan itu terkait dugaan korupsi penerbitan izin tambang di Tanah Bumbu saat dia jadi Bupati.

JURNALBANUA.COM, BANJARMASIN - Dalam surat bernomor R.467/Lid.01.01/22/05/2022, tertanggal 14 Mei 2022, KPK meminta Mardani datang Jumat (27/5/2022). Mardani diminta membawa berkas peralihan izin dari PT PT Bangun Karya Pratama Lestasi ke PT Prolindo Cipta Nusantara.

Dalam surat itu, Mardani dipanggil dal kapasitasnya sebagai Bupati Tanah Bumbu periode 2010 - 2018. Sekadar diketahui, Mardani menjabat Bupati dua periode. Namun dia mundur di tahun 2018.

Mardani kemudian datang ke KPK pada Kamis (2/6/2022). Sekitar pukul 11.00 siang.

Hampir dua belas jam kemudian, ia baru keluar gedung merah putih itu sekitar pukul 22.41 WIB.

Politikus yang sekarang menjabat Bendum PBNU itu sendiri irit bicara saat ditanya wartawan. Dia enggan membeber materi pemeriksaan di KPK.

Dia hanya mengaku, dirinya dimintai keterangan terkait permasalahannya dengan pengusaha Kalsel Haji Isam.

"Saya hadir di sini sebagai pemeriksaan pemberi informasi penyelidikan, tapi intinya saya di sini karena permasalahan saya dengan Haji Syamsuddin atau Haji Isam pemilik Jhonlin Group," kata Mardani di lobi Gedung KPK.

Keterangan itu dibantah Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Alex menegaskan, pemeriksaan yang dilakukan kepada Mardani H Maming merupakan kewenangan dari penyelidik.

“Sepenuh menjadi kewenangan dari penyelidik,” kata  Alex, Jumat (3/6).

Haji Isam sendiri membantah ada masalah dengan Mardani. Dia sendiri heran, kenapa namanya dibawa-bawa.

"Pak Haji Isam nggak punya masalah dengan Pak Mardani. Kalau menurut Pak Mardani ada masalah dengan Pak Haji Isam, silahkan tanya ke Pak Mardani apa masalahnya," kata pengacara Haji Isam, Junaidi kepada wartawan, Jumat (3/6/2022).

Misteri Suap Peralihan Izin Tambang Tanah Bumbu


Terseretnya nama Mardani ke pusara kasus tambang Tanah Bumbu berawal dari kesaksian mantan Kepala Dinas ESDM Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi di PN Tipikor Banjarmasin.

Sebagai informasi, Dwidjono ditahan Kejaksaan Agung pada 2 September 2021 karena diduga menerima suap atau gratifikasi Rp27,6 miliar dari Dirut PT PCN Henry Soetio terkait pengalihan IUP dari PT BPKL ke PT PCN. Peralihan itu sendiri melanggar UU no 4 tahun 2009 tentang minerba, pasal 93.

Dalam persidangan di Banjarmasin 24 Mei, Dwi membeber, kalau dirinya diminta Bupati Mardani H Maming untuk menerbitkan izin peralihan tambang itu.

"Selama persidangan ini seolah-olah faktor paling besar adalah rekomendasi Kepala Dinas sehingga Bupati (Mardani) menandatangani IUP tersebut… Itulah yang saya maksudkan Justice Collaborator, saya akan buka semuanya,” papar Dwidjono.

Tak hanya itu, Dwidjono bahkan mengaku dipaksa Bupati Mardani untuk memproses permohonan pengalihan IUP dari PT BPKL ke PT PCN yang diajukan Dirut PT PCN Henri Soetio.

“Saya sudah tidak mau proses tapi dipaksa (Bupati Mardani) untuk memproses. Beda lho pak, perintah dengan paksa. Kalau perintah saja, saya masih belum melaksanakan. Ini dipaksa,” kata Dwidjono. 

Dwidjono sempat memaparkan bahwa pengalihan IUP bermula pada Februari 2011 saat dia diperkenalkan oleh Bupati Mardani kepada Henri Soetio di sebuah hotel di Jakarta.

“Pak Dwi, ini Koh Henri yang mau mengalihkan IUP BKPL ke PCN,” kata Dwidjono menirukan Mardani saat mengenalkan dirinya dengan Henri Soetio.

Hasil pertemuan, Dwidjono diinstruksikan Bupati untuk membantu memproses pengalihan IUP yang dimohon Henri Soetio.

Namun instruksi pengalihan IUP, menurut Dwidjono, tidak segera dia lakukan karena mengetahui dilarang oleh UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.

“Makanya itu permohonan saya tahan tidak saya apa apakan selama 1 – 2 bulan. Terus saya bingung saya konsul ke bagian hukum (Ditjen) Minerba, pejabatnya Pak FI waktu itu… Saya tunjukin permohonannya, dijawab: ya sesuai undang-undang itu tidak boleh Pak Dwi,” papar Dwidjono.

Toh Dwidjono akhirnya menyerah dan memproses pengalihan IUP.

“Sebenarnya saya sendiri kan sudah tidak mau memproses. Namun kata beliau (Bupati Mardani): Pak Dwi, ini kebijakan. Nanti kalau bersalah dalam penerbitan, itu urusannya TUN (Tata Usaha Negara). Proses saja. Nanti kalau bersalah, nanti saya cabut (SK) nya,” kata Dwidjono menirukan Mardani sehingga dia pun memproses draf SK pengalihan IUP.

Mardani sendiri saat menjadi saksi pada persidangan 25 April 2022, mengakui telah menandatangani SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011, namun melempar tanggung jawab kepada Kadis ESDM.

"Yang saya cek adalah paraf kepala dinas. Kalau sesuai aturan, maka saya tandatangani. Dia (terdakwa Dwidjono) datang membawa SK ke saya," kata Mardani.

Mardani kembali menegaskan bahwa dirinya tak ada sangkut paut dengan persoalan yang terjadi pada 2011 tersebut. Saat itu ujarnya, pengajuan IUP dinyatakan bebas tanpa ada masalah. Termasuk saat diverifikasi oleh Pemprov Kalimantan Selatan hingga pusat.

"Dibawa ke provinsi, dan provinsi menyatakan tak ada masalah saat itu. Dibawa lagi ke Kementerian ESDM, diverifikasi lagi sesuai aturan dan telah keluar (dokumen) Clear and Clear berati permasalahan itu tidak ada," lanjutnya.

Dia lalu mengaku ada yang janggal dengan dengan kasus suap terkait izin peralihan pertambangan yang terjadi tahun 2012 itu.

‘’Ini sesuatu yang lucu bagi saya karena (proses izin) pada 2012 kenapa ributnya pada 2021. Kenapa perusahaannya pada saat perubahan tidak memprotes bahwa ini tidak benar?’’ kata Mardani. (tim)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar