Derita Ribuan Keluarga Buruh Sawit PT BRI di Kotabaru: Tak Bisa Beli Beras Ditolak Puskesmas

Ketua Serikat Pekerja, Jayadi bersama rekan-rekannya mengadu ke DPRD Kotabaru
Ribuan keluarga buruh sawit megap-megap, terancam kelaparan. Harga minyak sawit tinggi, tapi karyawan perusahaan kebun ini justru tidak bisa beli susu anak. Rumah orang tua pun digadai.

Publik pun tersentak. Mual terasa sampai di ulu hati. Haru, iba, marah campur aduk. Bagaimana bisa, ribuan keluarga terancam kelaparan karena tidak bisa beli beras?

JURNALBANUA.COM, KOTABARU - Itulah yang terungkap dalam dengar pendapat puluhan buruh kelapa sawit PT Bumi Raya Investindo (BRI) di gedung DPRD, Senin (17/9) siang kemarin. "Jadi bagaimana ini keputusannya? Beras saya di rumah tinggal seliter," kata Ketua Serikat Pekerja BRI, Jayadi memelas.

Jayadi adalah buruh panen kelapa sawit. Meski tukang panen, tapi air wajahnya bersih. Badannya sehat. Seperti terdidik. Lain lagi dengan keluarga Marzuki. Dia dan istrinya kerja di pabrik kelapa sawit. Sudah beberapa bulan lalu anak mereka dikirim ke rumah orang tua.

"Kalau sama kami, gak bisa minum susu anak-anak," kata Marzuki didampingi istrinya kepada Radar Banjarmasin.

Koran Radar Banjarmasin 18 September 2018
Marzuki saat dengar pendapat, terlihat beberapa kali mengusap air yang terbit di pelupuk matanya. Seorang pria berwajah tegas juga berkali-kali terlihat menahan air mata. Pemandangan yang mengaduk emosi.

Kata buruh hampir tiga bulan mereka tidak lagi digaji. Manajemen perusahaan bagai hilang ditelan bumi. Sementara dari hitungan kasar mereka, hasil panen bulan terlahir di Agustus mencapai 6.000 ton, yang diolah jadi CPO.

"Kalau kita uangkan sekitar Rp9 miliar. Sementara biaya produksi cuma sekitar Rp3 miliar. Kok gak bisa bayar gaji," Marsuki buruh lainnya.


Gaji mereka rata-rata sebulan Rp2,5 juta. Tergantung posisi kerja. Ada sekitar 650 karyawan tetap yang belum digaji. Warung-warung kata buruh, sudah tidak mau memberikan pinjaman sembako.

"Pokoknya kami gak mau pulang kalau gak selesai. Pulang apa juga. Gak ada hasil dibawa ke rumah," keluh buruh.

Kondisi menggenaskan itu bukan mengada-ada atau bualan semata. Wartawan koran ini mengenal persis mayoritas buruh sawit PT BRI itu. Hidup mereka memang sudah pas-pasan.

Mereka pun mengaku kendaraan sudah banyak yang mau ditarik diler. Nunggak bayar kredit. Bahkan Jayadi sudah pula menggadaikan sertifikat rumah orang tuanya.

"Tolong lah bagaimana caranya supaya kami bisa makan. Kasih kami izin jual sendiri buah sawit itu. Karena itu kan juga tanah kami. Kami asli orang sana," kata Sambadi, buruh suku Mandar yang beberapa tahun silam biasa memancing ikan darat bersama wartawan koran ini.

Mengapa buruh minta izin jual buah sendiri? Dari fakta lapangan yang dihimpun Radar Banjarmasin, sudah beberapa waktu lalu manajemen PT BRI angkat kaki. Meninggalkan derita bagi ribuan warga di Kecamatan Pulau Laut Barat, Pulau Laut Tanjung Selayar, Pulau Laut Kepulauan dan Pulau Laut Selatan.

Manajemen perusahaan yang beroperasi di empat kecamatan pesisir Pulau Laut itu bagai hilang ditelan bumi. Kantor lengang. Malam hari, kebun yang biasa terang, sekarang gulita. Petugas jaga menjaga di pos berteman nyamuk dan pekatnya malam.

Cukup di situ? Tidak. Derita belum seberapa. Betapa kagetnya parade buruh malang itu saat keluarga mereka sakit. Puskemas menolak mereka.

Puskesmas menolak mereka berobat? Iya, kata para buruh di hadapan para wakil rakyat dan Sekda Kotabaru Said Akhmad. Karena ternyata iuran BPJS selama bertahun-tahun tidak pernah dibayar perusahaan ke rekening BPJS. Padahal dalam slip gaji, jelas ada uang buruh dipotong untuk BPJS.

Berbulan-bulan menderita. Lokasi kebun dan pabrik hanya berjarak sekitar 100 kilometer dari kantor bupati. Pusat pemerintah di utara Pulau Laut, aktivitas kebun di selatan Pulau Laut.

Kadinsonakertrans Zainal Arifin yang baru dilantik 1 September tadi, dalam dengar pendapat itu mengaku baru tahu derita warganya itu pada Jumat (14/9). Sementara pegawai lama, yang bertugas sebagai mediator dinas dan perusahaan, Yanti, sudah tahu sejak Juli tadi.

Rosalinda Yanti dan Lima Sinaga adalah pegawai lama di Dinsosnakertrans. Mereka mengaku senada. Penyelesaian mesti prosedural. Kewenangan daerah terbatas. Harus ada aduan resmi dulu. Harus mediasi dulu dan lain sebagainya.

Jawaban Yanti dan Lima itu membuat beberapa anggota dewan meradang. "Ini urusan perut. Ini bukan sengketa tenaga kerja. Bukan soal PHK yang pakai mediasi dan sidang. Ini buruh menuntut haknya," ujar Sukardi berapi-api dan memukul-mukul meja.

Para anggota DPRD itu juga mengaku baru tahu. Setelah Hamka Mamank, anggota dewan yang daerah pemilihannya di selatan Pulau Laut memberi kabar. "Saya menilai ini pembiaran dari pemerintah," ujar Hamka sengit.

Ketika diberikan waktu menjawab oleh Ketua DPRD Alfisah, Sekda Said Akhmad berjanji akan segera melaporkan ke Bupati. "Biar nanti langsung ditelepon manajemennya, mudahan diangkat," ujarnya.

Sekda menambahkan, Bupati Sayed Jafar pasti akan membantu warganya. Dia pun berjanji menemukan perwakilan buruh dengan kepala daerah.

Tapi Sukardi kemudian meminta izin kembali bicara. Dia mengatakan, beberapa waktu lalu katanya, para buruh sudah mencoba ketemu bupati, tapi ajudan mengatakan bupati ada tamu, buruh diminta datang lagi dua hari kemudian. Para buruh membenarkan itu.

Pun begitu, baik pemerintah dan wakil rakyat punya kata sepakat. Bahwa PT BRI adalah perusahaan nakal. Sukardi sudah ke Jakarta, bertandang ke BPJS. Hasilnya benar, perusahaan tidak ada menyetor iuran BPJS para karyawan tetap itu. Sayang kata Sukardi saat ke kantor PT BRI di ibukota, kantornya tutup.

Pabrik kelapa sawit PT BRI di Pulau Laut Barat
Dalam ruangannya, Wakil Ketua DPRD M Mukhni di hadapan buruh dan wartawan mengatakan dugaannya, bahwa kondisi itu bisa saja rekayasa. Sehingga perusahaan bisa menyandang status pailit. Mukhni berjanji akan segera menemui bupati agar masalah gaji buruh bisa cepat selesai.

Usai pertemuan itu, para buruh terlihat gamang. Mereka berangkat ke kota dari pinjam sana-sini. Ada yang dibantu anggota dewan ongkos bensin. Makan siang nasi kotak lahap mereka makan. "Hari ini bisa makan gratis. Besok apa lagi," kata buruh disambut tawa rekan-rekannya.

Wakil Ketua DPRD M Arif, mengatakan masalah itu harus cepat selesai. "Karena ini masalah perut. Ribuan orang terdampak. Kalau lambat, potensi gangguan keamanan akan ada. Kriminal bisa terjadi," ujarnya.

Para buruh itu lahir di pulau yang sekarang ditanami sawit. Siapa pernah menyangka, di tanah sendiri, mereka kesulitan makan, sementara buah sawit besar bergerombol. Emas hijau, begitu istilah yang menggambarkan betapa kayanya hasil sawit. Tahun 2017 tadi, devisa negara terbesar disumbang komoditas ekspor minyak kelapa sawit. Nilainya mencapai Rp300 Triliun, mengalahkan batubara (baca migas), konveksi, karet, dan sektor pariwisata. (Sumber: Radar Banjarmasin grup Jawa Pos)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar