Musa Ikut Dua Pertempuran, Lawan Belanda Pakai Parang dan Tombak

Veteran pejuang asal Balangan Kalsel, Musa | Foto: Muhammad Fikry Syahrin/Jurnal Banua
JURNALBANUA.COM, PARINGIN - Kemerdekaan Republik Indonesia dideklarasikan pada 1945. Tapi nyatanya, rasa merdeka belum sampai di Kalimantan Selatan.

Musa, salah satu veteran perang. Kakek 96 tahun asal Desa Timbul Tukang, Batumandi, Balangan itu bercerita soal kemerdekaan.

Menurutnya, saat kemerdekaan dideklarasikan di Jakarta, Kalsel masih dijajah Belanda. Setidaknya terpaut lima tahun. 

Kala itu, pejuang di Kalsel masih berjibaku melawan penjajah. Mendengar kabar merdeka dari Jakarta, mereka pun makin termotivasi untuk memerdekakan Bumi Lambung Mangkurat.

Selama masa pembebasan Kalsel, Musa pernah mengikuti dua kali pertempuran melawan penjajah. Sayangnya ia tak mengingat cerita rincinya.

Seingatnya, ia bertempur di dua tempat berbeda.  Di Awang, Hulu Sungai Tengah (HST) dan di Danau Tarate, Amuntai.

"Kami bertempur hanya menggunakan parang dan tombak. Sementara Belanda menggunakan senapang," ucapnya.

Sungai Amis karena Darah

Semangat para pejuang kala itu makin terpacu. Mereka juga mendapat dorongan berjuang dari para ulama. Membuat rasa takut mereka hilang.

"Kata para ulama saat itu, jika kalian berjuang melawan Belanda maka kalian adalah pejuang fisabilillah dan apabila  gugur berarti mati syahid. Mendengar itu tentunya kami sangat bersemangat," ceritanya, Kamis (10/10/2022).

Pertempuran yang dihadapi Musa kala itu dkk begitu brutal. Sampai-sampai darah berkucuran ke mana-mana. 

"Sampai-sampai di sungai di Danau Terate airnya tidak enak. Tidak bisa diminum bahkan oleh hadangan (kerbau) . Sungainya berbau amis karena darah dari Belanda," tutur Musa.

Ia sempat menangis menceritakan pedihnya perjuangan saat itu. Mengingat rekan-rekannya yang juga gugur dalam pertempuran itu. 

Lolos dari Pasukan Belanda

Nyawa Musa bukannya tak pernah terancam. Ia beberapa kali hampir mati tertembak. Beruntung, dirinya selalu selamat.

Kejadian yang masih diingatnya adalah ketika ia dan rekannya berada di bawah pohon saat bertugas. Tiba-tiba pohon itu ditembaki oleh tentara Belanda. Dahan-dahannya jatuh menimpa dirinya. Membuat ia tidak terlihat.

Kala itu, Belanda memang akan langsung mengeksekusi jika bertemu dengan pejuang. Itulah sebabnya mereka harus berhati-hati.

Musa juga beberapa kali hampir tertangkap. Pada suatu momen, ia pernah dikejar pasukan Belanda. Dirinya harus bersembunyi di rongga pohon rumbia.

Ia juga pernah bersembunyi di atas plafon surau menghindari pasukan Belanda. Momentum itu terjadi ketika iring-iringan penjajah pulang ke pangkalan.

"Seandainya saat itu saya ditemukan, mungkin saya sudah mati. Alhamdulillah Allah SWT selalu memberikan pertolongan, masih bisa sehat sampai saat ini, walaupun sudah kurang mendengar karena faktor usia," ungkapnya.

Bagikan Petisi Menggunakan Bambu

Ada beberapa tugas yang sempat diemban kakek Musa saat itu. Pertama sebagai tata usaha dan merekrut anggota pejuang baru. 

Lalu ia membagikan petisi. Isinya penolakan terhadap penjajahan dan tidak akan membantu Belanda. 

"Ketika itu, saya mendatangi ke rumah-rumah warga memberikan sebuah tanda sebagai penolakan terhadap Belanda, tandanya hanya dimasukkan ke dalam buluh (bambu)  lalu disembunyikan. Namun banyak yang tidak berani bergabung karena takut, ketahuan oleh Belanda,"  kisahnya. 

Dalam kemiliteran, Musa bertugas di Batalyon Batumandi. Dan masuk dalam pertahanan TRI wilayah Kalsel. Pangkat terakhirnya adalah seorang pratu.

Penutup, Kakek Musa bertitip pesan kepada kaum muda. Agar selalu mencintai dan memaknai kemerdekaan dengan hal positif. 

 "Karena, untuk mencapai kemerdekaan itu sangatlah sulit. Bahkan nyawa menjadi taruhannya. Bersyukurlah dengan apa yang dinikmati saat ini," tutupnya. (rin/shd/jb)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar