Hasanudin (baju biru) meminta tolong speednya ditarik karena mesinnya rusak | Foto: Jurnal Banua |
JURNALBANUA.COM, BATULICIN - Sepanjang jalan dari pelabuhan Kotabaru ke Batulicin ada tiga kali mesin Hasanuddin mati. Awalnya dikira minyak kurang lancar.
Tapi ketika masuk ke perairan Batulicin, mesin itu mati lagi. Yang ke empat ini sudah tidak bisa ditolong.
Tenaganya habis terkuras, bongkar mesin, dan tarik tali starter. "Jangan. Berat itu," ujarnya ketika penulis menawarkan diri membantu menarik tali starter.
Badannya legam. Tinggi besar. Sudah lama jadi operator speedboat. Dari Sulawesi, suku Bugis.
Hasanuddin bercerita, dulu sekali, pelabuhan speed ramai. Orang hilir mudik. Tiap hari dapat penumpang. Sampai malam masih sibuk.
Sekarang seperti langit dan bumi. Dalam satu minggu bisa tidak dapat penumpang sama sekali.
Kini, jumlah operator menurun drastis. "Dulu kami ada lebih seratus orang. Sekarang paling berapa puluh saja lagi," bebernya.
Dia bertahan karena tidak ada keahlian lain.
Pagi Rabu (23/12/20) tadi, alangkah riangnya Hasanuddin. Dia dapat carteran. Sebuah keluarga minta diantar ke Kotabaru.
Rp400 ribu keluarga itu memberi. Potong biaya bensin Rp250 ribu. Biaya ini dan itu, bersih Hasanuddin dapat Rp100 ribu.
Perjalanan ke Kotabaru tenang. Gelombang hanya berupa riak. Teduh. Speed melaju mantap.
Itu mengapa, ketika balik ke Batulicin sore harinya, dia mau murah mengantar penulis. Hanya sekadar bantu beli bensin. "Tapi sekarang seringnya pakai pertalite (bensin sukar didapat), makanya busi cepat rusak," keluhnya.
Ketika pulang, Hasanuddin membawa sebuah nasi kotak. Dia satukan bungkusannya dengan minuman bersoda yang penulis beri.
Sepanjang jalan dia rupanya dahaga dan lapar. Berkali-kali meminum air mineral dari botol bekas.
Setelah empat kali mati mesin, air mineralnya habis. Tenaganya juga melemah. Dia mengalah, memilih menelepon temannya, minta ditarik.
Hasanudin berkali-kali memperbaiki mesinnya | Foto: Jurnal Banua |
Ketika penulis memintanya memakan makanannya dulu, Hasanuddin tidak menyahut. Rupanya, makanan itu sengaja dia bawa pulang. Di rumah ada anak-anaknya menunggu.
"Ada tiga, satu baru lulus SMA. Dua masih kecil-kecil," ucapnya.
Jelang Magrib, rekannya datang. Tali pun diikatkan. Ditariklah speedboatnya. Habislah sudah ongkos sewa penulis dia beri ke temannya itu.
"Begini sudah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi," lirihnya.
Dekat pelabuhan Batulicin, suara orang mengaji berkumandang. Lembayung membayang di belakang pulau Suwangi. Hasanuddin merenung. Gambaran siluet dirinya menimbulkan rasa iba.
Sebelumnya dia mengeluh, kapan corona akan berakhir. Penghasilannya menurun drastis saat pandemi. Ironisnya, dia mengaku belum pernah dapat bantuan sosial corona itu.
Dan sekarang dibebani lagi dengan kerusakan mesin. Alat utama mencari makan. "Kalau yang kena CDI nya, dua juta," melas Hasanuddin memercik haru. (shd/jb)
Posting Komentar