RESTART SPIRITUAL

Yuri dan Yusva camping di Pulau Laut sebelum masa pandemi

Coretan Opini Intermezzo

Yuri Muryanto Soedarno *).

SUDAH lebih dari tiga bulan ini suasana pandemi yang di akibatkan mahluk yang barangkali ukurannya lebih kecil dari mikro nano (yang disebut corona 19). Membuat suasana perekonomian saya mulai oleng, karena suasana yang tidak ceteris paribus.

Pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga jarak, makan dan minum yang bergizi, berjemur, bawa hand sanitizer ......
Seakan hal itu bukan suatu himbauan up to date lagi yang di munculkan di media.

Mendadak rating penjualan empon empon, seperti jahe, kunyit, kencur, temulawak menjadi primadona dan harganya naik.

Bakul bakul jamu menjadi sosok yang di cari.

Pemanjat aren dan pengolah gula aren / merah mulai di buru.
Tanaman serai mulai lebih dirawat.

Kelapa muda menjadi minuman yang trendi.

Jeruk lemon mulai menanjak harganya.

Yang agak jadi problem adalah bagaimana saya bisa makan minum bergizi kalau saya tidak bergerak mencari nafkah.

Maklumlah saya termasuk generasi old, yang kurang memahami digitalisasi di era milenial dan tidak memahami teori konspirasi serta terlalu mumet pada teori perang asimetris.

Rupanya jaman memang sudah berubah.
Saat saya masih anak anak membawa mainan dari bambu dan membawa uang untuk membeli permen.

Sekarang generasi anak saya membawa gadget dan membawa uang untuk membeli kuota.

Ya begitulah, setiap generasi punya masanya.

Saat siang dengan cuaca yang murung dan gerimis berpetir, karena memang memasuki musim hujan. Kami sekeluarga bertemu di meja makan.

Nasi, tempe dan tahu serta lele goreng, krupuk, dan ikan asin sepat kiriman saudara dari Hulu Sungai, rebusan pucuk daun ubi kayu, sambal, dan sayur oseng buah pepaya muda, dan air jeruk nipis hangat yang ditambah geprek jahe.
Beberapa bahan pangan itu saya ambil dari pohon yang ditanam di halaman.
Kami sekeluarga menikmati dengan rasa syukur dan lahap.

Syukurlah rumah kami punya halaman yang cukup luas. Yang bisa ditanami empon empon (bumbu dapur) dengan pot dari ember dan baskom rusak, juga ada cabe, kangkung, bayam, kenikir, dan lainnya.

Di halaman  belakang ada tanaman jeruk purut, jeruk nipis, ubi kayu, ubi jalar, pisang, nangka, kelor, jambu, belimbing, mangga, pepaya, dan beberapa tanaman sayur dan buah lainnya.

Agar sisa sisa makanan mempunyai nilai guna, saya pelihara juga beberapa ekor unggas ayam kampung, juga ikan lele memakai drum bekas.

Lumayan juga, untuk tambahan keperluan dapur, sambil penyaluran aktivitas dan kreativitas.

Ya maklumlah, kesan life style kampung (gaya ndeso) masih melekat pada diri saya, tapi saya senang dan mensyukuri serta menikmati ke ndeso an itu.

In every walk with nature one receives far more than he seeks (Dalam setiap jalan dengan alam seseorang menerima jauh lebih banyak daripada yang dia cari)

Ada pelajaran pagi tadi, saat teman saya dari kampung sebelah desa datang meminjam uang untuk membeli beras. Bahkan dia berujar "kalau pun tidak ada uang, beras pun jadilah", katanya.

Hari itu, saya benar benar tidak mempunyai uang. Kalaupun ada itu pun tinggal dana rumah tangga yang dihandle oleh istri saya untuk keperluan konsumsi yang tidak seberapa.

Saat itu, kondisi dana dalam level bertahan. "Family Finance Survival (F2S)"  begitu istilah istri saya menamainya bila situasinya mengarah pada situasi yang perekonomian grafik turun.

Keputusan atas trouble teman saya, maka solusinya adalah memberi beras, saya cabutkan beberapa pohon ubi kayu, dan sayur kangkung, saya tangkapkan ayam satu ekor, tebangkan pisang satu tandan karena kebetulan ada yang sudah tua, dan buah nangka yang baunya sudah harum dan mulai matang yang saya peram beberapa hari yang  lalu dan beberapa buah pepaya yang sudah mulai mengkal.
Istri saya pun menyisipkan beberapa bungkus mie instan dan beberapa kaleng sarden.

Syukurlah teman saya pun menyadari situasi dalam suasana pandemi ini, dan memaklumi saya juga sedang bertahan secara ekonomi.

........ Beberapa waktu setelah kejadian itu, teman saya tersebut mengirimkan pesan plus foto via whatsapp bahwa dia menaman kangkung  dan bayam di teras rumahnya dengan memanfaatkan ember dan baskom yang rusak, serta mau menanam ubi kayu dan pisang di halaman belakang rumahnya.

Saya bersyukur atas anugerah akal dan fikiran yang dikaruniakan-NYA, dan tersenyum dan bahagia, bahwa teman saya mendapatkan secercah sinaran new mindset dan new balance pada attitude, change and thing pada dirinya  dari pola hidup ala kampung (ndeso).

There is a sufficiency in the world for man's need but not for man's greed
(Ada kecukupan di dunia ini untuk kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahan manusia).

*). Yuri, akrab di sapa Ceppe /atau Utuh Iyur, alumni FISIP ULM, salah satu pelopor Mapala Fisipioneer, kadang menulis tentang lingkungan, traveling/petualangan, bisnis, puisi serta menyikapi fenomena sekitar.


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar