Peluang Head to Head Pilkada Kotabaru Tinggi, Berikut Analisanya

Foto ilustrasi jurnalbanua.com

JURNALBANUA.COM, KOTABARU - Suhu politik di Bumi Saijaan semakin meninggi. Peta dukungan Parpol diperkirakan akan terpolarisasi.

Setelah PDI Perjuangan mengumumkan pasangannya Zairullah Azhar dan Zulkipli AR, praktis nama yang tersisa hanya Sayed Jafar dan Sudian Noor.



Nama-nama lain yang sempat muncul di akhir tahun 2019 tadi, sekarang meredup. Seperti Fatmawati, Dardiansyah dan Said Azhar.

PDI Perjuangan diperkirakan berkoalisi dengan PKB, dan Gerindra. "Kami masih membuka diri dengan Parpol lain," kata Zulkipli baru-baru tadi.

Sementara itu, Sudian Noor sendiri akhirnya buka suara terkait santernya kabar, dirinya akan berpasangan dengan Sayed Jafar. Sudian yang juga Bupati Tanah Bumbu ini mengatakan, ia ingin mengabdi di tanah kelahirannya.



"Keluarga dan para sahabat saya di sana. Memang, di akhir tahun 2019 tadi, mereka meminta saya untuk mengabdi di Kotabaru," ujar Bupati Tanah Bumbu ini seperti dikutip Radar Banjarmasin (21/2/20) tadi.

Masih dari Radar Banjarmasin, Sudian mengaku sudah menjalin komunikasi ke beberapa petinggi Parpol. "Termasuk Bupati Sayed Jafar selaku Ketua Partai Golkar."

Terkait isu dirinya akan berpasangan dengan Sayed Jafar, Ketua DPC PAN Tanah Bumbu itu menegaskan, dengan siapa pun tidak masalah. "Sayed Jafar saya pikir adalah orang hebat. Dia visioner dan fokus," tandasnya.



Hal senada juga disampaikan Sayed Jafar sehari sebelumnya. Dalam politik katanya, semua bisa terjadi. "Tidak menutup kemungkinan, itu bisa terjadi. Kita tunggu saja keputusan partai," ujarnya.

Dalam keterangan selanjutnya, Sayed Jafar juga terlihat menggambarkan potensi mengerucutnya dukungan Parpol. "Kita pun masih dengan koalisi yang sama," ujarnya menanggapi poros PDI Perjuangan yang terbentuk untuk Zairullah Azhar dan Zulkipli AR.

Sayed Jafar sendiri diperkirakan akan didukung partainya dengan jumlah 5 kursi. Kemungkinan besar PPP empat kursi. Petahana ini puh sudah juga melamar ke PAN yang didukung kekuatan tiga kursi. Dan PKS sebanyak dua kursi.



Pengerucutan itu juga diperkuat dengan sikap Perindo. Walau hanya satu kursi, Parpol ini terkesan tidak ingin jadi penonton. "Malam ini kami rapat di tingkat daerah," ujar anggota DPRD Kotabaru dari Perindo, Rabbiansyah akrab disapa Roby.

Sedari awal, banyak pihak memprediksi akan sedikit pasangan yang berlaga di Pilkada Kotabaru. Salah satu sebabnya adalah tidak munculnya nama-nama baru dalam perpolitikan Bumi Saijaan.

Padahal, menurut Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Syaiful Bakhri, anak-anak muda yang idealis lebih cocok memimpin Kotabaru.



"Mestinya yang muda-muda seperti kalian yang memimpin," ujar dosen kelahiran Kotabaru ini saat berbincang dengan Jurnal Banua beberapa waktu lalu.

Pemimpin yang baik kata Syaiful lahir dari demokrasi yang sehat. Melalui proses musyawarah mufakat. Bukan lewat proses politik transaksional.

Di situ masalahnya. "Politik sekarang perlu modal besar. Sehingga anak-anak muda yang sebetulnya layak, namun karena tidak ada dukungan modal, sulit," bebernya.



Lantas bagaimana?

Ada solusi ujarnya. Calon tidak perlu banyak. Cukup dua pasang atau tiga. Semua calon sepakat, tidak akan melalukan politik uang saat Pemilu. Dan siapa yang menang wajib menggandeng yang kalah.

"Salah satu sebab lambatnya pembangunan kan begitu. Yang kalah tidak dirangkul, akhirnya selama lima tahun terus merongrong, daerah pun jadi tidak kondusif."

Artinya lanjut Syaiful, sistemnya tetap demokrasi. Satu orang satu suara. Namun hakikat prosesnya adalah musyawarah dan mufakat.



Cara itu juga membuat para calon tidak ke luar finansial besar. Sehingga tidak ada istilah lagi: menang hanya untuk balik modal.

Bagaimana sebenarnya peran uang terkait kepemimpinan politik di Kotabaru?

Rata-rata politik senior membenarkan. Mayoritas warga masih berharap imbalan sesaat. "Sekitar 70 persen itu yang transaksional," ujar seorang politikus yang enggan namanya disebutkan.



Bukan rahasia, pada Pemilu legislatif 2019 tadi, uang bersileweran. Satu suara ada yang dihargai Rp50 sampai Rp500 ribu.

"Satu keluarga kami beda-beda. Satu ikut.... satu ikut.... Semua kasih uang," ujar Rapi warga Pulau Laut Tanjung Selayar.

Politik uang itu sederhana. Uang dibagi ke tim di lapangan. Tim di lapangan kemudian membagikannya kepada warga.

Proses itulah yang menjadi ladang bagi para penjual suara lima tahunan. Mereka mengumpulkan massa, dan meminta dana kepada calon. (shd/jb)



Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar