Perjuangan Pato, Polisi yang Terbiasa Lapar Sejak Kecil

Iptu Daeng Pato, seja kecil terbiasa kerja keras

Dua belas Desember tadi ia tepat berulang tahun ke 56 tahun. Guratan wajahnya dalam. Sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Berkali-kali mencuri kue untuk menahan lapar. Kini ia jadi orang terpandang.

JURNALBANUA.COM, KOTABARU

Daeng Pato, anak pertama pasangan Sawala Daeng Tompo dan Mera Daeng Jaya. Lahir di Goa, 12 Desember 1963.

Dibesarkan keluarga petani, Pato hidup pas-pasan. Pun begitu, semangat menuntut ilmu sudah terlihat sejak ia kecil.

Pato kecil merantau ke Makasar. Hanya untuk mengenyam bangku sekolah dasar.

Ujian hidup datang saat ia kelas tiga SMP. Sawala, sang ayah, meninggal karena sakit. Sempat gamang, namun ia memutuskan tetap sekolah.

"Waktu itu saya sudah bercita-cita masuk ABRI," kenangnya kepada penulis awal Desember tadi.

Supaya bisa tetap sekolah, Pato memutuskan jualan. Ke sekolah ia membawa nampan. Isinya kue-kue. Pekerjaan itu ia lakukan sampai SMA.

"Sampai sekarang saya hapal setiap sudut gang di Makasar."

Masa kecil dan remaja ia habiskan untuk belajar dan kerja. Tidak ada waktu main. "Uang penjualan kue memang saya tabung untuk masuk ABRI."

Kelaparan, adalah teman akrab Pato saat itu. Pernah ia numpang di rumah keluarga. Keluarganya itu bos kue. Jika pagi hari, keluarganya makan duluan. Sementara Pato bekerja ini dan itu.

Selesai makan, panci dan segala macamnya sudah bersih. "Jadi giliran saya mau makan semua bersih. Dan saya juga tidak ditawari makan. Malu saya ambil, jadi gak makan saya pagi."



Mencuri Kue Karena Lapar

Ketika tiba malam hari, tepatnya tengah malam, Pato tidak bisa tidur. "Tidak bisa tidur kita kalau lapar. Perih perut. Buktikan saja kalau gak percaya."

Tak tahan, ia pun bangun. Diam-diam ke dapur. Biasanya kue jualan yang tidak laku digantung. Pato kemudian membuka bungkusan kue, dan mengeluarkan isinya. Bungkusan itu ia buka sedemikian, jadi seperti dilubangi tikus.

"Biasa dua kue saya makan."

Pagi hari, keluarga tempatnya numpang itu ribut. Pato mendengar semua. "Dia teriak ke anaknya. Aduh, katanya. Kue-kue dimakan tikus. Padahal saya yang makan," kekeh Pato.

Pernah pula Pato dikejar orang di pasar. Kali ini apes. Ia ketahuan mencuri kue. "Jadi jangan pernah cerita dengan saya soal kelaparan. Itu saya alami sampai SMA."

Salah satu kue yang ia suka namanya susu bujang. Terbuat dari gandum. Di dalamnya ada pisang rebusnya. Mengenyangkan. "Sampai sekarang. Tiap kali saya makan kue itu, saya selalu ingat. Saya pernah curi ini," bebernya. Kali ini mata Pato tampak berkaca-kaca.

Semua cobaan hidup itu ia tahan. Meski tertatih-tatih mengikuti pelajaran, tapi Pato berhasil lulus. Tidak ada hambatan di sekolah. Dari semua saudaranya, hanya ia sendiri bertahan tetap sekolah sampai SMA.

Waktu SMA, ia kerap kejar-kejaran dengan aparat. Terbirit Pato masuk gang mendorong gerobak. Pasalnya, di hari pertama puasa ia jualan es. Di Makasar, tiga hari pertama puasa, penjual makanan dilarang berdagang siang hari.

Lulus SMA ia mendaftar masuk ABRI. Gagal. Alias tidak lulus.

Beberapa bulan kemudian dibuka pendaftaran Bintara tahun 83. Anak muda tinggi kurus itu pun mendaftar. Semua tes ia ikut, sembari tetap dagang kue dan es pakai gerobak di depan Komdak Sulsel (sekarang Polda Sulsel).



Pengumuman Polisi Masih Jual Es

Tiba hari pengumuman. Tapi Pato asyik sendiri jualan es. Sampai ada seorang polisi di Komdak yang kenal dia. "Hei kenapa masih jualan, kata polisi itu. Dia bilang, namaku ada di pengumuman."

Mendengar namanya lulus, Pato mengaku saat itu biasa saja. Ia pernah gagal, jadi tidak terlalu berharap. Dan saat itu akunya, orang-orang hampir tidak berhenti beli es. Dia sibuk.

Entah kasian, atau mengapa, si polisi lantas mengatakan ke Pato, ia akan ke dalam memastikan lagi di papan pengumuman. Tidak lama, polisi itu datang lagi. "Pato, pulang sudah. Ambil semua bajumu, kamu lulus. Begitu katanya," kenang Pato. Mata polisi ini matanya menerawang ke depan, seolah adegan itu tergambar di hadapannya.

Waktu itulah dia katanya sadar. Dia benar-benar lulus. Kegembiraan seketika membuncah di dadanya. "Langsung saya teriak. Semua es dan kue di gerobak sekarang gratis. Saya bagi-bagi semua."

Seperti terbang Pato pulang ke tempat bos kuenya. Gerobaknya menabrak-nabrak tepi jalan. "Pagar rumah orang juga saya senggol, saking senangnya. Cepat-cepat." Mendengar cerita Pato menggratiskan sebagian jualan, bos kue iba. Si Bos mau terima uang hasil penjualan hari itu dari Pato.

Pulanglah Pato ke Goa. "Waktu itu ada uang untuk naik taksi. Tapi sayang. Saya memilih jalan kaki. Jaraknya 20 kilometer."

Di Goa Pato mengurus semacam surat SKCK. Mengemas pakaian dan alat makan. Berangkatlah ia pendidikan. Selama setahun. Lulus di 1984.



Benci Dengan Polisi Angkuh

Ia ditempatkan di Polda Kalsel. Tidak lama, ia kembali ditugaskan ke Kotabaru. Sampai sekarang.

"Kalau ada polisi angkuh sama orang miskin, saya itu benci sekali. Benci sekali lihatnya," ungkap Pato.

Saat itu, gajinya masih pas-pasan. Beras pembagian, harus ditumbuk-tumbuk dulu, karena menggumpal. "Tapi itu sudah jauh lebih baik dibanding kelaparan," kekehnya.

Masa inilah ia baru sempat kenalan intens dengan lawan jenis. Pato menikah dengan gadis Kotabaru di usia muda. Beruntung ujarnya, orang tua gadis tidak minta mahar. "Sudah kata orang tuanya. Berapa ada uangmu itu saja."

Tahu gaji polisi pas-pasan, Pato mulai usaha. Ia menjalin relasi dengan banyak orang. Beberapa nama yang ia sebut, sekarang adalah orang-orang terpandang di Kotabaru karena jumlah hartanya.

"Tapi sayangnya, padahal sama-sama saya awalnya berusaha. Pas sukses, saya ditinggal."

Ditipu dan dikhianati jadi makanan Pato muda. Akhirnya, Pato mengambil jalur sendiri. Ikut berkontribusi mendirikan perusahaan namanya PT BAS. "Tahu artinya BAS? Biarlah Aku Sendiri. Ini beneran," ujarnya tergelak.

Ibunya dan adik-adiknya ia panggil ke Kotabaru. Terus-terus. Usaha keluarga akhirnya berkembang. Merambah ke usaha perumahan. Kerabar lain ia panggil juga. Sekarang sudah banyak familinya di Kotabaru, kerja macam-macam.

"Lihat warung kecil di samping SPBU itu? Itu adik saya. Andai dulu saya tidak paksa sekolah, mungkin saya sekarang begitu juga."

Karena itu, semua anak Pato ia sekolahkan tinggi-tinggi. Sekarang satu orang perempuan sudah jadi Kepala Puskesmas Sebatung Kotabaru. Satu jadi polisi di Pol Air. Anak terakhir masih proses pendidikan di kedokteran.

Pato kecil yang dulu terbiasa lapar, kadang mencuri kue, sekarang jadi polisi yang disegani di masyarakat. Ia didaulat jadi Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Kotabaru.

Pato di fery yang menyeberang selat Pulau Laut

Rumah Pato besar. Mobilnya bagus. "Harta tidak dibawa mati. Paling penting itu, bagaimana harta bisa bermanfaat buat orang banyak. Jangan pernah sekali-kali merasa lebih dari orang lain hanya karena harta," pesan polisi yang menjabat Kapolsek Pulau Laut Tengah ini.

Hingga sekarang. Jika Pato menangkap kriminal, ia terbiasa memeriksa rumah para calon terpidana. "Saya bias ke dapurnya. Memeriksa beras. Jika tidak ada, kita belikan. Kejahatan itu timbul salah satunya karena kemiskinan," tandasnya.

(Sumber: Radar Banjarmasin)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar