Enaknya Gumbili Basanga 24.000 Kaki di Atas Bumi, Renungan Peradaban Milenial


Yuri Muryanto Soedarno

Dulu. Tarik mundur dari 22019. Puluhan tahun yang lalu. Naik mobil apalagi pesawat (kapal tarabang bisa/montor mabur) rasanya wow. Prestise sekali.

Derajat kejiwaan langsung melambung.

Di beberapa bandar udara terkenal di nusantara. Waktu itu barangkali hampir tidak ada singkong goreng atau singkong rebus dijual di airport.

Singkong, kala itu hanya bermimpi ditaruh di etalase sekelas bandara atau dunia glamour rimba beton.

Waktu itu singkong diberi brand lawakan panganan kelas bawah yang dijual di pinggir jalan. Dicap roti ndeso. Singkong seakan dihipotesis kan berderajat rendah dibanding roti dan keju.

Intinya, singkong seolah dilegitimasi sebagai makanan kelas jelata. Seperti lagu zaman itu yang terkenal, milik Bill Brod: aku ini hanya anak singkong.

Meski dicap makanan jelata, bagi yang senang berkemah dan berpetualang di alam bebas, sudah tidak asing dengan makanan tradisional ini. Disuguhkan penduduk ramah pada lintasan perjalanan indah petualangannya.

Ingatan saya melayang ke belakang beberapa puluh tahun silam ketika menapaki lembah gunung di tanah Kalimantan dan Jawa.

Ketika melewati lembah Rahtawu di Gunung Murya. Sejuknya udara di lembah Tengger. Indahnya dewangga di punggung lembah Semeru. Merbabu. Dan sangarnya Merapi.

Sosok-sosok ramah penghuni rumah berdinding gedek dan berlantai tanah itu menawarkan telo godok. Jarang kala itu singkong digoreng. Minyak goreng mahal.

Demikian pula kala ketika melintas di lembah Kahung, lembah Alai, lembah Loksado, dan lembah-lembah lainnya. Dan tentu saja: air terjun yang sangat molek di jajaran pegunungan Meratus.

Sosok sosok ramah, yang rumahnya dari kulit kayu atau papan yang dindingnya disusun sirih dengan lantai panggung kayu. Juga menawarkan gumbili bajarang.

Tidak di Jawa, tidak di Kalimantan. Saya selalu memakan ubi rebus, godok telo, gumbili bajarang itu dengan lahap. Ego petualangan melebur oleh singkong. 

Ditemani indahnya kealamian santun dengan senyum, serta tawa tanpa kepura-puraan. Tanpa ego teknologi.

Lamunan di masa-masa kuliah buyar. Ketika pilot atau co pilot mengumumkan bahwa pesawat yang saya tumpangi ke ibukota negeri, triwulan ke dua tahun ini, telah berada di ketinggian 24.000 kaki.

Foto udara yang diambil Yuri di atas pesawat saat itu

Saya tengok ke bawah lewat jendela kaca tebal. Hanya dewangga putih berderet, dan pohon singkong tak terlihat di bawah saya apalagi buahnya yang terpendam di tanah. 

Tentu saja.

Pelan pelan saya keluarkan air putih mineral dan snack tradisional (gumbili basanga) yang saya beli di bandara internasional. Harganya dihitung berdasarkan beratnya dalam hitungan gram.

Inilah gumbili basanga yang dimakan Yuri di atas pesawat

Lama saya pandangi 'cake kuno antik' itu. Saya tawarkan pada orang di samping kiri saya. Dia tersenyum aneh dan menolak. Seperti merendahkan.

Saya tawarkan pula pada orang disisi kanan yang kebetulan seorang bule. Dia mengambilnya. Dan memakannya.

Si bule dengan polos menanyakan nama snack itu. Saya jawab: 'it's telo or gumbili'.

"What..? Gumbeli?," si bule coba mengulang.

Saya tersenyum mendengar kelucuan ucapannya waktu itu. Yang di sisi kiri, yang enggan makan gumbili, juga ikut tertawa mendengar gumbeli.


Mari kita saling belajar untuk tidak salah kaprah menerima modernisasi. Yang dapat menghilangkan keseimbangan secara mental.

Tua dan muda punya dua sisi plus dan minusnya. Kita masing masing punya lebih juga punya kurang. Bukankah sepakat untuk tidak sepakat adalah kesepakatan.

Dan alam sudah memperlihatkan beragam warna indahnya dan itu semua adalah ciptaan dan milikNya.

Gumbili sudah menunjukkan sekelumit kesabarannya. Dari ditertawakan, hingga menyadarkan saya. Bahwa gumbili bisa juga tampil elit. Naik pesawat terbang di atas bumi di ketinggian dua puluh empat ribu kaki.

Pohon punya proses untuk menghasilkan buah ranumnya. Dan hasil tidak akan mengkhianati prosesnya.

Setiap zaman punya masanya.

Tetapi apabila alam sudah berubah gersang. Tumbuhan sudah enggan berdaun dan berbuah, ikan dan hewan sudah mulai punah, udara sudah mulai pengap, air mulai tercemar. Dan manusia sudah mulai angkara. Maka barangkali kita baru sadar bahwa kita tidak makan dan minum uang. (*)

(in memoriam: camar orientasi pesisir)

Gumbili bajarang : singkong rebus
Gumbili basanga: singkong goreng

Yuri merupakan alumni Administrasi Niaga FISIP ULM. Salah satu  pelopor Mapala Fisipioneer. Sesekali menulis tentang lingkungan, perjalanan pribadi, bisnis juga menyikapi fenomena sekitar.

Silakan kirimkan opini Anda ke jurnalbanuacom@gmail.com. Disertai foto diri dan biodata singkat


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar