Jambu Baru: Tak Mau Kearifanmu Dikepung Birokrasi Sawit


Ketika Inpres moraturium perkebunan sawit terbit, maka lahan warga kini mulai menyempit.

Kalimat tersebut menjadi realita yang cukup meresahkan bagi masyarakat lokal. Khususnya warga desa Jambu Baru Kecamatan Kuripan, Kabupaten Barito Kuala.

Betapa tidak, seiring dengan moraturium perkebunan sawit lahan kerja warga menjadi sempit karena terkepung lokasi perkebunan sawit. Ini sama halnya seperti Aksi militer Rusia ke Suriah, serta blok yang bersamanya dari Iran hingga vietnam.

Warga tidak berdaya. Kanan kiri, depan dan belakang penuh sawit.

Lupakah kita? Kalau kelestarian ekologi sama dengan keberlangsungan hidup manusia

Warga Desa Jambu Baru memenuhi kebutuhan hidup sejak ratusan tahun yang lewat dengan menggantungkan hidup pada alam.

Halidi Ajay
Hampir semua warga bermata pencaharian sebagai petani dalam skala luas, baik itu menanam padi, mencari ikan, mencari kayu galam, memanen rotan dan sebagainya.

Meski demikian tidak sedikit dari mereka yang berhasil menyekolahkan anaknya sampai lulus SMA bahkan sampai jadi sarjana. Semua pekerjaan dilakukan secara mandiri. Dalam artian tidak ada yang dipertuan dalam pekerjaan (birokrasi kapitalisasi) upah buruh.

Para petani, bisa berangkat dan pulang kerja sesuai jadwal yang mereka inginkan dan tidak terikat kontrak kerja yang artinya: lepas kontrak dipecat. Tapi entah bagai mana nanti, karena saya dengar di Kotabaru di perbatasan Kalsel Kaltim, para petani dan nelayan banyak jadi buruh sawit, bukan petani sawit.

Keindahan pesisir Jambu Baru, Barito Kuala | Foto: Halidi Ajay

Desa Jambu Baru, yang mempunyai luas kurang lebih 300 ha ini sekarang sedang terdesak. Dari segala penjuru perusahaan perkebunan sawit berusaha memperluas area mereka.

Mereka perlahan membeli lahan, parit atau sejenisnya dari masyarakat yang tergiur. Tidak salah memang karena itu hak dari si pemilik untuk menjual. Akan tetapi ini menjadi dramatis ketika kepentingan salah satu golongan berimbas buruk kepada seluruh warga desa.

Problema kehidupan sudah barang tentu menjadi tanggung jawab diri pribadi. Akan tetapi ketika terkait dengan suatu kebijakan maka harus ada pemecahan masalah secara sistemik dari semua pihak. Dalam kaitan ini, selain masyarakat pemerintah juga diharapkan berperan aktif.


Masalah perekonomian warga desa tidak selalu bisa dipecahkan dengan memasukkan sebuah koorporasi. Apalagi kalau wilayah tersebut mempunyai sumberdaya alam yang banyak, mempunyai masyarakat yang terbiasa mandiri.

Dengan datangnya perusahaan dikhawatirkan menimbulkan masalah baru bagi warga. Warga yang biasanya berangkat dan pulang kerja sesuai kemauan akan sulit beradaptasi dengan jadwal yang ditentukan oleh perusahaan. Belum lagi terkait sumber daya manusia dan sebagainya. Ini hanya sebagian kecil masalah baru yang akan tumbul.

Terkait dengan hal ini, maka sangat diharapkan para pemimpin daerah bisa duduk bersama masyarakat untuk bersama mencari solusi. Solusi yang berasal dari dan untuk masyarakat, bukan dari dan untuk birokrat. (*)

Baca: Mengejutkan, Ada Bandara dan Jet Minamas di Perbatasan Kotabaru

Halidi Ajay, penulis adalah aktivis mahasiswa Banjarmasin di era tahun 2010. Sekarang mengabdi di desanya, tetap aktif di organisasi seni teater dan Mapala kampusnya. Sesekali menulis tentang berbagai pendapat pribadinya menyikapi fenomena sekitar.

Silakan kirimkan opini Anda ke jurnalbanuacom@gmail.com. Disertai foto diri dan biodata singkat.


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar