Menengok Ketahanan Pangan di Banua Lewat Seminar Porang

M Said (dua dari kanan), Direktur Akabi Kementan (tiga dari kanan), dan Rekan Peserta Sampornas dari berbagai daerah sebelum masa pandemi

Muhammad Said *).

SAYA buka pesan via WA yang dikirim seorang teman yang tinggal di Jakarta. Dia menawarkan seminar nasional tentang tanaman yang bisa menjadi komoditas konsumsi dan komoditas industri.

Serta mempunyai celah peluang ekspor.

Beberapa hari kemudian, walaupun peserta seminar sangat terbatas. Dengan bantuan teman itulah saya akhirnya bisa masuk dalam daftar peserta seminar.

Ingatan saya melayang  beberapa waktu silam sebelum mengikuti seminar. Ketika diajak saudara yang mau riset di Kalimantan dan hobi camping untuk menikmati bukit tropical rainforest dengan aliran sungai yang masih jernih di salah satu daerah Hulu Sungai.

Ada beberapa orang yang lewat di kemah kami. Cara lewat dengan memberikan salam permisi umpat lalu (ikut/numpang lewat) dengan intonasi yang sopan itulah, yang membuat kami menawarkan mereka kopi sambil beristirahat.

Saya masih ingat sewaktu salah satu dari mereka, mengeluarkan bawaannya dari bakul purun (tas yang terbuat dari tanaman rawa) dan memperlihatkan bawaannya. Ternyata, itu adalah bibit tanaman yang sama diseminarkan tersebut.

Bibit itu bisa dari umbi (bagian bawah), atau bibit (bagian atas) yang ada di antara daun yang di sebut bulbil atau katak.

Pencari bibit itu tidak membudidayakannya. Tetapi mencari di pinggiran hutan bahkan ke dalam hutan.

Dari mereka pulalah saya tahu bahwa, bibit itu mereka jual kepada pengepul yang katanya dijual lagi ke beberapa daerah untuk di budidayakan.

Padahal dulu di kampung saya tanaman ini sepertinya biarkan begitu saja. Bahkan cenderung disia-siakan. Karena pohonnya gatal, makanya sering ditebas dan dibiarkan begitu saja, begitupun dengan umbinya.

Di seminar itulah saya baru tahu dan jelas, bahwa tanaman yang di sebut Porang itu, mempunyai produk turunan untuk konsumsi dan industri. Bahkan merupakan komoditi ekspor yang mahal.

Saya seakan sadar, bahwa ketahanan pangan Indonesia benar-benar hebat dan bervariasi. Namun sayangnya barangkali kita kadang bahkan melupakan hal tersebut, karena seakan hanya melihat sesuatu dari kepraktisan dan casing saja.

Sebelum masuknya ayam goreng tepung dan kue kue pabrikasi  ke negeri kita, bukankah banyak menu masakan nusantara dari bahan ayam. Menu opor ayam, ayam ingkung, ayam bakar madu, ayam rica rica, serta berbagai sop dan soto, juga kuliner yang lainnya. Serta sangat banyak menu kue (jajanan) ala tradisional nusantara yang mempunyai cita rasa khas.

Apakah kita baru sadar dan terhenyak, serta gembar gembor bicara ketahanan pangan sekarang. Coba kita buat semacam asumsi saja, apakah khazanah menu pangan kue-kue di nusantara masih sangat banyak beredar di masyarakat atau sudah berkurang di banding tahun tahun silam.

Bila ditengok akan anugerah potensi alam yang agraris dengan iklim mendukung, serta potensi kebaharian/kemaritiman yang kaya. Apakah bisa dikatakan kita selama ini, sepertinya terlena akan kekayaan dan kemakmuran negeri subur ini.

Saya jadi teringat suatu syair lagu dari Koes Plus ... orang bilang tanah kita tanah surga ... tongkat kayu dan batu jadi tanaman ....

Mengutip pendapat dari Thomas Robert Malthus (An Essay on Principle of Population), yang menyatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk itu seperti deret ukur 1, 2, 4, 8, 16, dan seterusnya, di sisi lain laju pertumbuhan pangan seperti deret hitung 1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya.

Artinya laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pangan.

Hal itu bisa dilihat pertumbuhan populasi manusia semakin bertambah, sementara lahan pertanian tetap, bahkan berkurang. Karena digunakan sebagai hunian dan infrastruktur tempat tinggal dan lainnya.

Sementara bila dihubungkan dengan pendapat Davis Ricardo (Law of Dimishing Return). Bisa disebutkan hukum yang berkenaikan kurang, artinya lahan pertanian yang digarap manusia pada titik tertentu akan menunjukan pendapatan yang berkurang, bila jumlah tenaga kerjanya terus bertambah.

Dua hal di atas sepertinya turut mendukung pemikiran perlunya ketahanan pangan bagi manusia yang hidup di bumi adalah sesuatu yang wajar.

Di sisi lain, ketahanan pangan juga sepertinya juga berkorelasi terhadap ketahanan mental untuk tetap memegang prinsip menjaga warisan leluhur dan tidak oportunis.

Itu berarti bisa jadi ketahanan pangan haruslah tidak sekedar slogan, tetapi juga mindset menyadari lagi khazanah kehebatan pangan nusantara.

Tentunya wajar bila kita mendukung ketahanan pangan dan rempah nusantara yang pernah jaya di mata dunia, yang berkorelasi pada pertahanan dan keamanan negara.

Tentunya sangat di harapkan program-program ketahanan pangan dapat diberdayakan pada publik untuk mudah diaplikasikan yang diprakarsai oleh leading sector di bidangnya, agar tidak hanya menjadi slogan komoditas pandir semata.

Ayo kita cintai pangan nusantara, sebagai salah satu warisan leluhur yang sehat dan lezat serta  membanggakan.

Kenangan: Bapak Amiruddin Pohan Direktur Akabi (Aneka Kacang dan Umbi) Dirjen Tanaman Pangan Kementan RI, dan Bapak Ali Mashuda Ketua Aspeporin Pusat, serta Bang Yuri Muryanto Soedarno dan Joni Sulistiyanto serta Dwi Putranto, juga semua Rekan saat diskusi keren sewaktu istirahat.


*). Muhammad Said ; alumni Tehnik Sipil UVAYA Banjarmasin, Sekretaris Aspeporin Kotabaru-Kalsel.


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar