Lulus SMA di Hotel Mewah Sebaiknya Dikaji Ulang


Lulus SMA sederajat, para orang tua harus mempersiapkan biaya lagi. Misalnya biaya kuliah. Kebiasaan sekolah gelar pesta kelulusan siswa SMA di hotel pun dianggap memberatkan dan tidak mendidik.

JURNALBANUA.COM, BANJARMASIN - Sudah bukan rahasia, beberapa sekolah di Kalsel biasa menggelar acara perpisahan kelulusan murid di hotel. Setelah sebelumnya para murid patungan uang, dan diserahkan kepada sekolah.

Guru-guru dan para murid berpakaian mewah. Tidak jarang mereka harus menyewa jas mahal.

Syarifuddin Nisfuady SH warga asal Banjarmasin, yang juga ketua komite salah satu SMKN di Banua meminta pemerintah turun tangan. Dengan cara membuat surat edaran larangan sekolah perpisahan di hotel.

Nisfuady menulis surat terbuka di sosial media, Jumat (1/3) malam tadi. "Kita tidak ingin hal seperti ini menjadi keresahan orang tua siswa. Untuk itu kita meminta Dinas Pendidikan dan Kepala Daerah untuk mengeluarkan surat edaran larangan melaksanakan acara perpisahan di hotel," tulisnya.

Menurut dia, acara kelulusan tidak mesti menghamburkan uang ratusan juta rupiah.

"Yang harus dibangun adalah siswa benar-benar mencintai sekolahnya. Ketika mereka tidak ada lagi di sana, mereka tetap mencintai tempat di mana mereka menuntut ilmu," paparnya.

Terlepas dari itu, banyak pakar pendidikan menilai, sikap hura-hura merayakan kelulusan berdampak kurang baik terhadap mental anak-anak. Lulusan SMA dinilai, mayoritas masih mencari jati diri.

Sekolah mestinya menjadi cerminan kesederhanaan, tenggang rasa dan kebersamaan. Sesuatu yang mewah tentu akan menjadi masalah psikologis bagi murid dan orang tua yang kurang mampu.

Orang tua yang tidak mampu menyewakan jas bagus anaknya, akan merasa terpukul. Si anak sendiri merasa minder tampil seadanya.

Jika dampaknya begitu besar, lantas mengapa masih ada sekolah menggelar acara perpisahan mewah? Banyak faktor, mulai dari para murid sampai sikap tidak bijaksana para guru.

Usia Remaja, Sekolah Harus Bijak

Usia SMA rata-rata merupakan peralihan remaja ke dewasa. Di usia ini, keriuhan berkumpul seperti meledak-ledak. Di lain sisi, ujian dianggap beban yang berat, melaluinya perlu dirayakan seriuh-riuhnya.

Dari beberapa artikel ditemukan fakta, bahwa aksi corat-coret baju tidak ada di bawah tahun 90 an. Aksi itu baru muncul sejak Ebtanas mulai diberlakukan sampai sekarang UN.


Entah apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia sehingga UN masih dirasa berat oleh sekolah. Bukti bahwa UN bukan hal luar biasa adalah: lulusan terbaiknya pun tidak akan bisa bekerja enak hanya dengan ijazah lulus itu.

UN secara mengejutkan sudah menjadi momok. Padahal setelah melaluinya para murid masih harus berjuang panjang untuk menjadi mandiri.

Karena fokus para murid dan guru pada rasa bangga berhasil lulus UN, membuat sekolah merasa perlu bermewah merayakannya. Lupa, jika UN hanya indikator para murid boleh kuliah atau tidak lagi duduk di bangku SMA sederajat.

Merasa senang dan merayakan kelulusan tentu tidak salah. Tapi jika harus membebani keuangan murid dan orang tuanya tentu jadi masalah. Berbeda jika, misalnya, lulus SMA sudah diterima jadi Dirut BUMN.

Jangan Korbankan Mental Positif Remaja

Suatu waktu di Banua, beberapa tahun silam. Empat orang remaja berjalan gontai di hari kelulusan. Mereka pulang ke kos, sementara di sekolah murid-murid lain sedang asyik corat-coret baju.

Tiga dari empat remaja itu kos, karena sekolah jauh dari rumah orang tua. "Ke kos atau main PS," ujar seorang remaja pada dua temannya. Wajah mereka riang. "Main PS aja, masih ada uangku sedikit," kata seorang lainnya.

Berjalan lah mereka terus. Sampai sudut gang, duduk sekumpul orang tua di depan rumah. "Kenapa pulang cepat? Gak lulus ya kalian?" tanya seorang tua.

Remaja serentak menjawab kalau mereka lulus. "Ah, masa..? Gak lulus kalian. Bajunya gak dicoret," balas orang tua lainnya.

Para remaja saling pandang. Seorang seperti ingin menjawab keraguan orang tua yang asyik kumpul itu, tapi remaja lainnya mengisyaratkan terus saja ke tempat rental PS.

Orang dewasa itu rupanya tidak tahu, para remaja yang baju SMA nya bersih dari coretan itu merupakan murid-murid cerdas di kelas. Seorang bahkan meraih predikat tiga besar terbaik. Tiga dari mereka tidak ada kesulitan masuk perguruan tinggi dan dapat beasiswa. Satu remaja lainnya memilih berwirusaha setelah lulus itu.


Mengapa para remaja tersebut bersikap berbeda? Tidak beda sebenarnya, hanya lebih dewasa di banding teman-temannya yang lain. Kedewasaan yang muncul salah satunya karena kesadaran, mengerti bahwa orang tua tidak mudah dapat uang untuk dikirimkan ke mereka tiap bulan.

Kesadaran bahwa biaya sekolah tinggi itu terbukti, betapa seringnya mereka mencari uang di luar jam pelajaran saat SMA. Kerja di pelabuhan, hingga jadi tukang becak.

Sehingga ketika lulus SMA, mereka biasa saja. Sudah mengerti belum kalau kelulusan itu belum pantas dirayakan. Ijazah SMA teramat tidak cukup untuk dapat posisi enak, misalnya di perusahaan. Perjuangan masih panjang.

Artinya, tidak semua murid terjebak dalam kesalahan memahami makna kelulusan UN. Sekolah mestinya bijak menyikapi masa-masa ini. Dari pada ratusan juta habis ke hotel, bukankah lebih baik perayaan kelulusan misalnya para guru mengantar murid berwisata ke kampus, mengenalkan setiap fakultas dan peluang kerja atau usahanya.


Gak ramai gak ada pesta? Bukankah tiap hari di sekolah adalah pesta? Jika belum, berarti sistem pendidikan dan pola mengajar kita masih perlu dibuat lebih menarik dan menyenangkan bagi para murid.

Misalnya, pelajaran matematika menghitung berapa besar peluang jualan di Facebook atau Instagram. Pelajaran fisika, menghitung berapa kecepatan angin maksimal yang mampu ditahan Menara Pandang di Banjarmasin.

Atau pelajaran biologi dan kimia misalnya, mencari tahu kandungan kimia ikan nila peliharaan di pasaran dan ikan nila di alam liar. Eksistensi akan membentuk rasa percaya diri para murid di masyarakat. (JB)


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.

Posting Komentar