Catatan dari Wabul Sawi Festival (1): Tahan Apilan, Terus Bertahan, Terus Berjuang

Misbach Tamrin (kanan) dan Musa Bastara menuruni tangga Masjid Nurul Jannah Q Mall Banjarbaru, Jumat (26/9). Mereka baru saja menunaikan salat Jumat usai menghadiri pembukaan hari pertama Wabul Sawi Festival di Q Mall Banjarbaru | FOTO: JURNAL BANUA
Wabul Sawi Festival kini telah berlalu—meninggalkan kesan juga asa. Tentang tanggung jawab moral yang harus kita pikul bersama; tentang harapan pada generasi baru.

ZALYAN SHODIQIN ABDI, BANJARBARU

Lelaki 84 tahun itu berdiri di teras Masjid Nurul Jannah, Q Mall Banjarbaru. Badannya memutar ke kanan dan ke kiri, kepalanya menunduk ke bawah, matanya memindai serakan alas kaki, tapi entah di mana sepatunya berada.

"Saya lupa di mana menaruh," ujarnya kepada pemuda yang perawakannya serupa dengannya: tinggi kurus.

Lama mereka mencari—sampai jemaah Jumat (26/9) hampir habis. Akhirnya sepasang sepatu hitam ketemu; ternyata ada di dekat mereka, di rak, di ujung bagian bawah.

Lelaki adalah Misbach Tamrin—pelukis senior yang pernah ditahan 13 tahun tanpa pengadilan pada masa Orde Baru. Pemuda adalah Musa Bastara—penulis yang baru saja menerbitkan cerpen Berburu Bulu Mariaban dalam kumcer Kiat Menyelesaikan Masalah Asmara.

Dua generasi itu sama-sama salat Jumat di masjid dalam mall. Mereka baru saja mengikuti pembukaan sekaligus talkshow hari pertama Wabul Sawi Festival di Ballroom Q Mall, Banjarbaru. Festival sastra yang, kata panitia, dihadiri sedikitnya seribu peserta: mayoritas pelajar dan mahasiswa. Jumlah yang nampak masuk akal, sebab dari laporan, jumlah kursi di ballroom ada sekitar 1.200. Dalam ruangan, penulis sempat kesulitan mencari bangku kosong.

Ruang Ballroom Hotel Qin Q Mall Banjarbaru penuh pemuda dan pelajar yang mengikuti Wabul Sawi Festival, Jumat (26/9) | FOTO: JURNAL BANUA

Paling senior di lautan anak muda, Misbach Tamrin menjadi cerminan tema festival: Tahan Apilan—bahasa Banjar yang artinya terus bertahan. "Semangatnya lebih muda dari kita," kata Musa Bastara. Sudah seharusnya ia minder. Misbach datang pagi-pagi sekali ke pembukaan festival—Musa dan saya baru tiba lewat pukul sembilan.

Tahan apilan—terus bertahan. Penulis muda Dea Anugrah dan Gusti Gina dalam talkshow memakai Misbach sebagai ibrah. Dea meminta remaja dan pemuda tidak memanjakan diri dengan mengandalkan perintah kepada AI. Masa muda, sebutnya, mesti diisi dengan proses pembelajaran yang ketat. "Saya yang muda ini saja merasa malu melihat beliau," kata Dea.

Seorang pelajar berkebutuhan khusus bertanya dengan bahasa isyarat kepada Dea Anugrah dan Gusti Gina dalam  kegiatan MTN IkonInspirasj Wabul Sawi Festival | FOTO: JURNAL BANUA

Lepas salat Jumat, Misbach kembali bergerak, menghadiri salah satu rangkaian festival: ORU Ekosastra dan Ekobudaya. Dimoderatori sastrawan Kalsel Sandi Firly, penyair Theoresia Rumthe dan Nissa Rengganis serta akademisi Imam Qolyubi menyuarakan berbagai pendapat tentang peran sastra terhadap lingkungan. Apakah seniman bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan—karyanya jauh dari konteks sosial? Ataukah seni itu merdeka dari tuntutan? Rumthe menengahi itu dengan, "Seniman atau sastrawan dalam berkarya mesti berangkat dari kejujuran."

Penyair Nissa Rengganis (tengah), Theoresia Rumthe, akademisi Imam Qalyubi dan novelis Sandi Firly (kanan) dalam kegiatan ORU (obrolan seru) ekosastra ekobudaya, di Basecamp Wabul Sawi Festival, Jumat (26/9) sore | FOTO: JURNAL BANUA

Misbach menyimak ketat semua rangkaian kegiatan festival yang ia hadiri. Di usianya kini, pendengarannya sudah menurun. Terkadang ia harus mengandalkan gerak bibir lawan bicaranya untuk menangkap kata. "Tolong lebih keras," ujarnya kepada moderator di sesi pemutaran film biografi dirinya pada hari kedua festival.

Lewat pemutaran film itulah remaja yang awalnya samar tentang Misbach menjadi mahfum—mengapa Dea mengelu-elukan namanya, mengapa panitia Wabul Sawi menghadirkan sosoknya. Misbach adalah legenda—perupa terakhir dari Sanggar Bumi Tarung yang masih hidup. Di usianya yang tidak lagi prima, ia terus menyuarakan pesan moral; kepeduliannya terhadap kondisi sosial ia tuangkan melalui kuasnya. Tidak pernah berhenti, tidak pernah padam.

Aksi panggung memukau Yadi Muryadi yang menyuarakan kerusakan Meratus di Mingguraya disaksikan Misbach Tamrin dan warga kota | FOTO: JURNAL BANUA
"Saya tidak pernah menyangka, beberapa ikon di Kalsel ini ternyata hasil karya beliau," ujar seorang peserta yang ikut menonton film Kulminasi Misbach Tamrin.

Selama dua hari festival sastra Wabul Sawi di Banjarbaru, Misbach selalu hadir. Ia terlihat menikmati dua malam panggung Mingguraya yang dihiasi dengan warna dan kata. Lukisan romantis Sandi Firly di sudut-sudut panggung berkelindan dengan pentas seni: baca puisi, musikalisasi puisi, pentas monolog.

"Saya harus bicara. Tapi, karena manusia tidak dapat dipercaya, saya hanya akan berbicara kepada Ning Diwata," suara aktor Yadi Murydi lantang bergetar tanpa pengeras suara. Ia membawakan naskah almarhum YS Agus Suseno tentang kerusakan lingkungan di Meratus, Kalimantan. Di belakangnya, latar api menyala-nyala, seperti menggambarkan perlawanan dan murka. Yadi turun dari panggung, mendekat ke arah Misbach. Lampu panggung meredup; suara seperti tertahan di udara langit Banjarbaru.

Peluncuran buku seratus puisi oleh seratus penyair. Tampak Dirut Wabul Sawi Festival Hudan Nur (kiri) bersama Direktur Bangku Panjang Mingguraya Bang Ben (tengah paling tinggi) | FOTO: JURNAL BANUA
Wabul Sawi Festival selama dua hari telah menjadi magnet di ibu kota. Tua-muda larut dalam kesan dan asa. Tahan apilan bukan sekadar tema, tapi rupanya telah menjelma menjadi doa. Direktur Hudan Nur dan seluruh penggagas rangkaian acara nampak berupaya keras membingkai seluruh kegiatan menjadi semacam panggilan kesadaran: mari bertahan, terus berjuang.

Meminjam istilah Misbach—tahan apilan yang mereka rangkai apik dengan isu lingkungan—saya pikir adalah wajah dari panggilan tanggung jawab moral Hudan Nur, Bang Ben, Sandi Firly, serta barisan pemuda di belakang mereka yang menginginkan perubahan kualitas hidup di Banua. Menjadikan Banjarbaru sebagai embrio gagasan—Bangku Panjang Mingguraya mewadahinya dalam Wabul Sawi: wani baidabul sanggup menggawi, berani berbicara berani mengerjakan.

Tidak berlebihan jika festival sastra selama dua hari ini mendapat apresiasi dari Kementerian Kebudayaan. Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan, Ahmad Mahendra, mengatakan ini kali pertama ia melihat festival sastra dengan jumlah elemen yang hadir begitu massif—dalam skala program kemitraan MTN (Manajemen Talenta Nasional) Kementerian Kebudayaan.

"Ini kerja luar biasa," ujarnya.

Sabtu malam, kegiatan usai, meninggalkan jejak bagi warga kota yang melembut dalam kata dan makna. Seribu peserta yang datang dari penjuru Kalimantan kini telah pulang ke habitat masing-masing. "Terima kasih, Banjarbaru," ujar Nungker, mahasiswa Mulawarman Kaltim yang rela menempuh seharian perjalanan darat melelahkan.


Space Iklan

Tags :

bm
Jurnal Banua

Situs pemberitaan online Jurnal Banua telah memiliki badan hukum dan terdaftar di Kemenkumham RI. Semua produk pemberitaan diolah melalui proses jurnalistik yang profesional dan bertanggungjawab.